Setelah menggulingkan kekhalifahan Umayyah pada tahun 750 M, kekhalifahan Abbasiyah berkuasa sebagai salah satu dinasti terbesar di dunia. Dan akan terus berkembang selama lebih dari 5 abad. Mereka dikenal dengan dominasi militer, pembangunan besar-besaran, perkembangan pesat ilmu
pengetahuan dan invasi teknologi. Di bawah kepemimpinan Abbasiyah, kekhalifahan memasuki fase baru. Sekarang, tidak seperti Umayyah yang berfokus ke Barat yaitu Afrikat Utara, Mediterania, dan Eropa Selatan Mereka mengambil sebagian besar tradisi pemerintahan Persia (Sasanian), dan menggunakan hukum Islam sebagai dasar pemerintahan. Mereka memulai pengambil alihan dengan memenangkan pertempuran Sungai Zab dari Umayyah, dan terus menjaga kemenangan dengan mengalahkan
Tiongkok di pertempuran Talas, memperluas kendali ke Afrika Utara, mengalahkan kekaisaran Bizantium berkali-kali, Pada masa kejayaannya, kekhalifahan Abbasiyah membentang dari bagian barat daya Asia hingga Afrika Utara dan sebagian dari Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal modern). Jika dilihat dari peta sekarang, mereka menguasai mulai dari Irak, Suriah, Yordania, Lebanon, Palestina, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman di Timur Tengah, mereka juga menguasai Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko dan sebagian Mauritania di Afrika Utara, sebagian di Asia Tengah dan Selatan, seperti Iran, Turkmenistan dan yang lainnya, sebagian Kaukasus, seperti Azerbajain, dan juga sebagian Semenanjung Iberia.

Selama awal pemerintahan, Abbasiyah meningkatkan prestise dan kekuasaan kekaisarannya, mempromosikan perdagangan, indsutri, seni dan ilmu pengetahuan. Mereka dikenal sebagai puncak peradaban Islam dalam bidang sains, budaya, dan sastra. Penerjemahan besar-besaran yang mereka lakukan terhadap karya-karya klasik Yunani, Persia dan India menjadi tali penyambung perkembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia, memberikan akses terhadap warisan ilmu dan menjadi salah satu yang bertanggung jawab dalam perkembangan bidang filsafat, matematika, kedokteran, astronomi, dan masih banyak lagi. Dan sekarang, kekhalifana Abbasiyah, diingat sebagai, Setelah runtuhnya Dinasti Umayyah, konflik internal dan ketidakpuasan yang
meluas di masyarakat membuka jalan bagi Dinasti Abbasiyah
untuk mengambil alih kepemimpinan. Berbagai masalah yang muncul selama pemerintahan Bani Umayyah, termasuk ketidaksetujuan masyarakat
terhadap kebijakan yang diterapkan, menjadi pendorong utama untuk perubahan kepemimpinan.

Revolusi kepemimpinan Abbasiyah memperoleh dukungan yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat, terutama dari kelompok Syi'ah dan orang Persia di Khorasan. Alasan utama dukungan ini adalah janji yang diusung oleh Dinasti Abbasiyah untuk mengembalikan keadilan yang sejalan dengan nilai-nilai yang diterapkan pada
masa Khulafaur Rasyidin yang dianggap sebagai standar keadilan dalam
pemerintahan Islam. Dukungan ini menjadi elemen kunci dalam konsolidasi
kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Selain itu, pemilihan nama "Abbasiyah" yang memiliki pengaruh dan status tinggi di suku Quraisy. Keputusan ini tidak hanya memberikan legitimasi sejarah, tetapi juga menghubungkan Dinasti Abbasiyah secara langsung dengan keturunan Nabi, dan menciptakan nilai-nilai yang mendalam terkait dengan keluarga Nabi Muhammad SAW. Hal ini memberikan fondasi yang kuat bagi penerimaan
masyarakat terhadap pemerintahan baru dan membentuk identitas yang layak untuk dihormati. Bani Abbasiyah merasa lebih berhak atas Kekhalifahan Islam dibandingkan dengan Bani Umayyah, karena mereka berasal dari cabang Bani Hasyim yang
memiliki garis keturunan yang lebih dekat dengan Nabi Muhammad. Menurut pandangan mereka, Bani Umayyah merebut kekhalifahan secara paksa melalui tragedi Perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah, mereka melakukan gerakan dengan melancarkan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah. Bani Abbasiyah percaya bahwa kekuasaan Bani Umayyah didapat secara tidak sah, dan mereka berkomitmen untuk mengembalikan keadilan dan ketertiban dalam kepemimpinan Islam.

Pemberontakan ini menjadi langkah besar dalam
sejarah politik dan kekhalifahan Islam, dan menghasilkan perubahan dinasti yang
cukup baik selama 508 tahun, dengan melanjutkan periode kekuasaan Bani Umayyah sebelumnya. Setelah berhasil meruntuhkan Dinasti Umayyah, Pada masa pemerintahannya, Abu al-‘Abbas contohnya ketika dia mengeluarkan dekrit kepada gubernurnya yang
memerintahkan penghapusan tokoh-tokoh Umayyah. Dinasti Abbasiyah yang baru terbentuk ini tidak hanya memegang kekuasaan di tingkat nasional, melainkan juga menunjukkan sifat internasional dalam pemerintahannya. Dinasti ini menyerap corak pemikiran dan peradaban dari berbagai budaya, seperti Persia, Romawi Timur, Mesir, dan lain-lain. Abu al-‘Abbas as-Saffah menjadi pendiri Dinasti Arab Islam ketiga, setelah Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah, yang melambangkan kebesaran dan perkembangan Islam di dunia. Pusat pemerintahan As-Saffah awalnya berlokasi di Kufah namun dikarenakan tokoh tokoh Bani Abbasiyah tidak percaya kepada penduduk Kufah yang dianggap sebagai pendukung keluarga Abu Thalib, akhirnya pusat pemerintahannya
dipindahkan dari Kufah ke Hirah. Selanjutnya, pusat pemerintahan berpindah ke Anbar. Keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan ini mencerminkan strategi yang diambil oleh As-Saffah untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya
dan menghadapi dinamika politik yang ada pada masa itu. Abu Abbas As-Saffah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menumpas sisa-sisa Bani Umayyah dan para pendukungnya. Upayanya melibatkan tindakan
tegas dalam menekan pemberontakan yang dipimpin oleh komandan militer yang
masih setia pada Bani Umayyah, terutama di wilayah Syam dan Al-Jazirah.

Dalam Kebijakan Politiknya, Abu Abbas As-Saffah menekankan pendekatan inovatif dan inklusif untuk membangun dan memperkuat pemerintahan Abbasiyah. Beberapa aspek utama dari kebijakan tersebut mencakup, pertama kalinya dibentuk kementerian yang didalamnya terlibat orang-orang Yahudi, Kristen Nestorian, dan Persia yang akan diakomodir dalam pemerintahannya. Dalam memperkuat militernya, Abu Abbas As-Saffah menggabungkan dan mengkoordinasi anggotanya yang termasuk non Muslim dan non Arab. Adanya pembangunan penerangan lampu jalan untuk kenyamanan dan keamanan, serta pembangunan rambu jalan yang menjadi penanda jarak setiap 1 mil, yang dimulai dari Kufah. Dengan itu, kebijakan politik As-Saffah tidak hanya mencakup aspek administratif dan militer, tetapi juga mencerminkan upaya untuk menciptakan
masyarakat yang inklusif, berinovasi, dan terorganisir dengan baik. Abu Abbas As-Saffah memainkan peran krusial dalam membentuk peradaban Islam selama masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Keberhasilannya dalam membangun fondasi peradaban ini membuatnya dihormati, dan dihargai oleh masyarakat. Namun, ketika masa kekuasaannya berakhir, Abu Abbas mengalami sakit yang
akhirnya membawanya ke pintu kematian. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia menyerahkan tongkat kekuasaannya kepada saudaranya Dengan demikian, kepemimpinan Dinasti
Abbasiyah berlanjut ke tangan saudaranya, dan meneruskan warisan serta tonggak sejarah yang telah dibangun oleh Abu Abbas As-Saffah pada masa KeKhalifahan Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur, ada tiga kelompok yang dianggap sebagai potensi ancaman bagi Dinasti Abbasiyah dan dirinya sendiri. Abdullah bin Ali, adik kandung Muhammad bin Ali, yang juga paman Abu Ja'far, menjabat sebagai panglima perang Bani Abbasiyah. Dikenal karena kegagahan dan keberaniannya, Abdullah bin Ali memiliki banyak pengikut dan ambisi besar untuk menjadi khalifah. Kepemimpinannya dan popularitasnya membuatnya dianggap sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas Dinasti Abbasiyah. menjadi pemimpin kelompok kedua yang diwaspadai. Meskipun ia dihormati karena keberaniannya dan kontribusinya, tetapi popularitas dan pengikut yang dimilikinya dapat menjadi sumber potensi ancaman terhadap kekuasaan Khalifah Abu Ja'far. Gerakan mereka yang membawa nama-nama
keluarga Nabi Muhammad Saw. membuat mereka mendapatkan simpati dari
masyarakat luas. Khalifah mewaspadai kelompok ini karena potensi dukungan
besar yang dapat mereka terima dalam upaya mempertahankan atau menggulingkan pemerintahan Abbasiyah. Pada masanya, al-Manshur menghadapi tantangan berat dari berbagai pihak, termasuk Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, al-Manshur mengambil langkah-langkah tegas dalam menangani lawan-lawannya. Tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi
saingan baginya secara bertahap mulai di eliminasi. Di antara langkah langkah tersebut termasuk pembunuhan pamannya sendiri, Keduanya sebelumnya ditunjuk sebagai gubernur di wilayah Syiria dan Mesir oleh khalifah sebelumnya.

Namun, karena mereka tidak bersedia membaiat al-Manshur, keduanya dibunuh. Al-Manshur menugaskan Abu Muslim al-Khurasani untuk melaksanakan tugas ini. Tindakan Al-Mansur ini dapat dipahami sebagai upayanya untuk memastikan kestabilan kekhalifahan dan juga supremasi keluarga Abbasiyah dengan
menegaskan kedaulatan mereka atas Khilafah. Pada masanya al-Mansur dalam upaya untuk memperkokoh dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri, Pemilihan lokasi dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon,
menandakan kebijakan al-Mansur untuk menempatkan pusat pemerintahan dinasti
di tengah-tengah masyarakat Persia. Pada masa pemerintahannya, al-Manshur melakukan berbagai upaya untuk
mengkonsolidasikan dan menata pemerintahannya. Beberapa inisiatif di bidang pemerintahan melibatkan pendirian lembaga-lembaga penting seperti lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam bidang administrasi, dia menciptakan tradisi baru
dengan menunjuk Wazir sebagai koordinator dari berbagai kementerian, walaupun belum sepenuhnya terstruktur. diangkat sebagai Wazir pertama, menunjukkan kebijakan inklusif al-Manshur dalam memilih pejabat pemerintahan. Al-Manshur juga memperkenalkan berbagai lembaga baru, termasuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara. Selain itu, dia melakukan peningkatan peran jawatan pos yang telah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah. Sekarang, jawatan pos tidak hanya berfungsi sebagai pengantar surat, tetapi juga bertugas untuk mengumpulkan informasi dari daerah-daerah, memastikan administrasi kenegaraan berjalan efisien.

Direktur jawatan pos memiliki tugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah, menunjukkan fokus pada pengawasan dan pengumpulan informasi yang lebih baik. Usahanya untuk memperluas dan mempertahankan wilayah Dinasti Abbasiyah menjadi salah satu fokus utama. Beberapa langkah yang diambilnya seperti, berusaha untuk merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya memerdekakan diri dari pemerintah pusat. Upayanya termasuk merebut benteng-benteng strategis di Asia, Tindakan ini bertujuan untuk memperkuat kendali pusat atas wilayah yang mungkin cenderung mandiri. Khalifah al-Manshur juga memusatkan perhatiannya pada memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Ini melibatkan operasi militer untuk mengatasi
potensi ancaman dari berbagai arah, termasuk mendekati selat Bosphorus dan
menghadapi pasukan Turki Khazar di Kaukasus. Al-Manshur juga menjalankan kebijakan perdamaian dengan Kekaisaran Bizantium, yang dipimpin oleh Kaisar Constantine V. dan Bizantium membayar upeti tahunan kepada Dinasti Abbasiyah sebagai langkah menjaga stabilitas di wilayah perbatasan. menguatkannya sebagai pemimpin yang sangat disegani dan
memancarkan daya tarik kharismanya yang luar biasa.

Kota-kota besar tunduk dibawah kekuasaannya dan dengan tegas menyatakan kesetiaan mereka. Seluruh wilayah Islam, kecuali Andalusia yang saat itu dikuasai oleh Dinasti Umayyah II yang dipimpin oleh Selain meraih pencapaian besar di ranah politik, masa pemerintahan Al-Mansur juga menciptakan tonggak awal dalam penulisan hadis-hadis Rasulullah Saw, pengumpulan khazanah Islam, dan pembentukan standar acuan pemikiran Islam di bidang fiqih dan tafsir. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap merebaknya pemahaman-pemahaman baru yang dianggap sesat oleh khalifah, dan dianggap sebagai ancaman terhadap keotentikan ajaran agama. Al-Manshur dihadapkan dengan tantangan dari sekte sekte yang muncul selama masa pemerintahannya, termasuk sekte Rawandiyah yang mengadopsi paham reinkarnasi. Meskipun Al-Manshur berhasil menumpas sekte ini, namun keberhasilan tersebut tidak sepenuhnya mencegah munculnya pemikiran-pemikiran menyimpang lainnya yang tidak sejalan dengan tuntunan Al-Quran dan al-Sunnah.

Pada masa ini, terjadi kemajuan pesat dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Bahasan-bahasan penting, seperti bahasa Arab, sejarah, dan kehidupan bangsa-bangsa, mulai diorganisir dan dibukukan. Sebelumnya, para imam dan ulama biasanya menyampaikan ilmu berdasarkan hafalan yang mereka miliki dan merujuk pada mushaf-mushaf yang belum terstruktur. Munculnya gairah luar biasa dari para ulama pada masa pemerintahan Al-Manshur memunculkan pertanyaan seputar apakah dorongan tersebut berasal dari khalifah Al-Manshur atau justru merupakan bentuk perlawanan dari dalam istana sendiri. Beberapa pandangan, seperti yang diutarakan oleh menyatakan bahwa istana khalifah Abbasiyah pada masa itu menjadi sumber kekacauan pemahaman agama Islam. Al-Manshur memilih para pejabat non-Arab untuk mengisi berbagai posisi penting dalam pemerintahan, yang sebagian diantaranya menganut paham anti-Arab atau Syu'ubiyah. Hal ini menyebabkan gerakan yang pada awalnya dimulai dengan
pengertian bahwa tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa non-Arab, namun segera berubah menjadi paham anti-Arab yang merendahkan bahkan menjelek-jelekan suku Quraisy secara keseluruhan. Gerakan ini juga membawa dampak negatif seperti penyebaran virus kaum zindiq (pemikir sesat), atheisme, dan permisivisme (keserbabolehan).

Oleh karena itu, peranan istana dalam menentukan arah pemikiran dan pemahaman Islam pada masa itu sangat kompleks dan kontroversial. Dengan melihat peningkatan aktivitas para ulama dalam mendokumentasikan ajaran agama pada masa pemerintahan Al-Manshur, dapat diperkirakan bahwa ini mungkin merupakan bentuk perlawanan terhadap penguasa dan aparaturnya. Dan beberapa ulama memang dibuat diam oleh pemerintahan untuk menjaga kestabilan kebijakan negara. Lokasi pemakamannya tidak diketahui dengan pasti, karena ia dimakamkan di salah satu dari ratusan nisan yang telah digali untuk menyembunyikan jenazahnya dari orang-orang Umayyah yang masih mempertahankan keberlanjutan dinasti sebelumnya. Menurut Imam As-Suyuthi, Al-Mahdi, putra Al-Manshur, tumbuh dengan belajar akhlak mulia Islam dan intens berinteraksi serta berguru dengan para ulama. Karakternya sangat baik, dan ketika dewasa, Al-Manshur menunjuknya sebagai gubernur untuk memimpin wilayah Tabaristan dan sekitarnya. Al-Mahdi, secara umum, dapat dianggap melanjutkan capaian-capaian pemerintahan ayahnya. Namun, menurut beberapa catatan sejarawan, Al-Mahdi dikenal lebih bijak dalam mengelola pemerintahan. Tindakan awalnya sebagai khalifah, yaitu membebaskan semua tahanan dan tawanan yang
dipenjarakan oleh Al-Manshur, menunjukkan kebijakan amnesti umum. Penting untuk dicatat bahwa amnesti tidak berlaku bagi mereka yang terbukti menumpahkan darah, terlibat dalam korupsi, atau memiliki sengketa yang belum diselesaikan. Tindakan ini mencerminkan pendekatan Al-Mahdi yang lebih lunak
dalam menangani masalah sosial dan politik.

Pada masa pemerintahan Al-Mahdi, terjadi sejumlah pembangunan infrastruktur yang signifikan. Renovasi terhadap Masjidil Haram yang merupakan pusat
keagamaan penting bagi umat Islam, menjadi salah satu proyek pembangunan utama. Selain itu, dilakukan pembangunan jalan yang menghubungkan wilayah Irak dengan Hijaz, memperkuat konektivitas antar-daerah dalam kekhalifahan. Tidak hanya infrastruktur religius, Al-Mahdi juga memberikan perhatian khusus pada sektor industri, terutama dalam pengembangan pembuatan kertas. Pada masa ini, mesin pembuatan kertas
mengalami inovasi yang cukup baik, menciptakan kertas yang lebih kuat dan memungkinkan produksi dalam skala massif. Keberhasilan ini memberikan dasar material yang kuat dan mendukung kemajuan zaman keemasan Islam. Abu Muhammad, Musa bin al-Mahdi al-Hadi, lahir di Rayy pada tahun 764 M. Dia merupakan Khalifah Bani Abbasiyah yang menggantikan ayahnya, Al-Mahdi, Al-Hadi, sebagai putra sulung Al-Mahdi, meneruskan sikap terbuka ayahnya terhadap rakyatnya dan mengizinkan orang awam untuk mengunjunginya di istana Baghdad untuk berbicara dengannya.

Dia dianggap sebagai penguasa yang selalu
mendengarkan masukan dari berbagai pihak, dan meneruskan gerakan progresif
dari para pendahulunya. Meskipun masa pemerintahannya singkat, Al-Hadi dihadapkan dengan sejumlah konflik militer yang membutuhkan penanganan. Pemberontakan yang dipimpin oleh Husain bin Ali bin Hasan pecah ketika Husain menyatakan dirinya sebagai khalifah di Madinah. Al-Hadi berhasil memadamkan pemberontakan tersebut dan
membunuh Husain beserta banyak pendukungnya, sementara saudaranya
melarikan diri ke Maroko dan mendirikan negara Idrisi. Selain itu, Al-Hadi juga harus menghadapi pemberontakan Kharijite dan serbuan dari Bizantium.

Meskipun demikian, pasukan Abbasiyah berhasil merebut beberapa daerah dari Bizantium. Peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Kemajuan ilmu pengetahuan yang signifikan dimulai dengan penerjemahan naskah-naskah asing, terutama yang berbahasa Yunani, ke dalam bahasa Arab. Pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan seperti Bait al-Hikmah serta terbentuknya berbagai mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan menjadi bukti dari kebebasan berpikir pada masa itu. Dinasti Abbasiyah mencapai popularitas puncaknya Harun al-Rasyid menggunakan kekayaannya untuk kepentingan sosial, dengan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, serta memajukan bidang kedokteran dan farmasi. Dalam bidang pemerintahan, Harun al-Rasyid juga mengambil langkah untuk
merangkul banyak orang Persia ke dalam struktur pemerintahannya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa kebijakan ini terinspirasi oleh wazirnya, Namun, secara lebih luas, kebijakan ini memiliki
nilai politis yang kuat. Mengingat bahwa Baghdad sendiri terletak di wilayah Persia, dan banyak prajurit andalan dari Bani Abbas juga berasal dari latar belakang Persia. Selain Yahya bin Khalid, satu sosok lain yang mendapatkan porsi kekuasaan yang sangat besar dari Harun al-Rasyid adalah ibunya. Jika pada masa pemerintahan Al-Hadi, Khaizuran dibatasi dalam urusan politiknya, namun di masa pemerintahan Harun al-Rasyid, ia diberikan kebebasan untuk terlibat dalam urusan politik, seperti pada masa pemerintahan Al-Mahdi.

Baik Yahya maupun ibunya, Khaizuran, memiliki dampak positif yang signifikan bagi pemerintahan Harun al-Rasyid. Di era kekuasaannya, Harun Al-Rasyid berhasil naik menjadi salah satu pemain utama dalam skema percaturan politik global. Untuk memastikan legitimasinya di dunia Islam, Harun membangun aliansi strategis dengan Charlemagne, Salah satu tujuannya adalah untuk membendung kekuatan Dinasti Umayyah II di Andalusia. Dalam hal kemakmuran dan kemajuan peradaban, Kekaisaran Carolingian sebenarnya bukanlah tandingan Dinasti Abbasiyah. Meskipun demikian, Harun Al-Rasyid melihat adanya keuntungan strategis dari menjaga hubungan baik dengan Kekaisaran Carolingian. Oleh karena itu, dia terus berusaha menjaga dan
memperkuat hubungan ini. Bahkan, catatan Eropa menyebutkan bahwa Charlemagne pernah mendapat hadiah yang luar biasa dari seorang Raja Persia bernama Aaron. Hadiah tersebut meliputi kain-kain yang bagus, wewangian, dan bahkan gajah. Hubungan strategis antara Dinasti Abbasiyah di Timur dan Kekaisaran Carolingian di Barat pada masa Harun al-Rasyid memperlihatkan betapa pentingnya diplomasi dan aliansi dalam skema percaturan politik global pada zaman itu. Dengan mengamankan wilayah mereka masing-masing dan mengendalikan kekuatan pesaing di luar wilayah, baik Dinasti Abbasiyah maupun Kekaisaran Carolingian
dapat memperluas pengaruh mereka dan membentuk pondasi bagi perkembangan masa depan, baik di dunia Islam maupun di Eropa.

Sepuluh tahun pertama pemerintahan Harun Al-Rasyid ditandai oleh
pemberontakan dan kerusuhan yang melanda sejumlah wilayah, terutama di wilayah perbatasan seperti Mesir, Suriah, dan Khurasan. Namun, dengan kebijaksanaannya, Harun Al-Rasyid mampu mengatasi setiap permasalahan tersebut secara efektif. Setelah masa yang sulit tersebut berlalu, Dinasti
Abbasiyah mulai mencapai titik keseimbangan yang lebih stabil. Pemerintahannya menandai era keemasan bagi Dinasti Abbasiyah, yang menjadi imperium terbesar di dunia pada masa itu.

Namanya menjadi terkenal di kalangan para raja dan rakyat biasa. Kisah-kisah tentang kebijaksanaannya dan kemurahan hatinya terus dikenang oleh rakyat, seperti yang tergambar dalam kisah 1001 Malam, yang
hingga kini masih populer di seluruh dunia. Pemerintahan Harun Al-Rasyid dilanjutkan oleh anaknya setelah Al Amin meninggal, pemerintahannya dilanjutkan oleh saudaranya Al-Ma'mun, yang menggantikan Harun Ar-Rasyid dan al Amin, dikenal sebagai seorang khalifah yang amat menghargai ilmu filsafat. Selama masa pemerintahannya, dia aktif melanjutkan kinerja Ar-Rasyid dalam mendorong penerjemahan karya-karya asing. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, dia mempekerjakan penerjemah-penerjemah dari berbagai agama, termasuk Kristen, yang ahli dalam bidangnya. Zaman Keemasan Islam menurut beberapa pendapat berakhir yang keduanya dikenal sebagai penguasa yang lemah dan hedonis, menandai periode penurunan kekuasaan dan kejayaan bagi Dinasti Abbasiyah. Faktor yang menyebabkan penurunan peran politik Dinasti Abbasiyah adalah persaingan internal di pusat pemerintahan, di mana jabatan khalifah tetap dipegang oleh Bani Abbas dan dianggap sebagai posisi keagamaan yang sakral dan tidak dapat diganggu gugat. Namun, kekuasaan sebenarnya dapat didirikan di
pusat maupun daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk
dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini merupakan fenomena yang berbeda
dengan masa pemerintahan Islam sebelumnya.

Pada awal berdirinya, Dinasti Abbasiyah sering mengalami perebutan kekuasaan. Namun, pada periode-periode berikutnya, seperti yang terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah menjadi semakin tidak berdaya, tidak
ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Upaya yang dilakukan justru untuk merebut kekuasaan dengan mempertahankan jabatan khalifah di tangan Bani Abbas. Tentara Turki akhirnya berhasil merebut kekuasaan tersebut, dan khalifah menjadi semacam boneka
yang tidak memiliki kekuasaan efektif. Bahkan, mereka yang memilih dan mencopot khalifah sesuai dengan kepentingan politik mereka sendiri. Setelah kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki dinasti Abbasiah pada periode berikutnya. Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran di bidang ekonomi seiring dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode awal, pemerintahan Bani Abbas
dikenal sebagai pemerintahan yang kaya. Pendapatan yang masuk lebih besar dari pengeluaran, sehingga Baitul-Mal, atau kas negara, dipenuhi dengan kekayaan. Pendapatan yang besar berasal dari berbagai sumber, termasuk Namun, saat khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara mulai menurun sementara pengeluaran meningkat secara signifikan.

Penurunan pendapatan negara disebabkan oleh menyusutnya wilayah kekuasaan, seringnya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, serta pembebasan pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak lagi membayar upeti kepada pemerintah pusat. Sementara itu, pengeluaran negara meningkat karena gaya hidup mewah yang dijalani oleh khalifah khalifah setelah Al-Ma'mun dan para pejabat lainnya, serta adanya berbagai bentuk korupsi di dalam pemerintahan. Meskipun khalifah seperti al-Manshur dan al-Mahdi telah berupaya keras untuk memberantas gerakan Zindiq dengan mendirikan jawatan khusus dan melakukan
mihnah (pengujian keimanan), namun upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Konflik antara ahlusSunnah dengan golongan Zindiq pun terus berlanjut, mulai dari polemik tentang ajaran hingga konflik bersenjata yang menimbulkan pertumpahan darah di kedua belah pihak. Contoh dari konflik bersenjata ini dapat dilihat pada
gerakan al-Afsyin dan Qaramithah. Selama masa penindasan gerakan Zindiq, beberapa pendukungnya mencari perlindungan dengan mengasosiasikan diri mereka dengan ajaran Syi'ah.

Hal ini berpotensi menimbulkan pandangan negatif terhadap beberapa kelompok dalam aliran Syi'ah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai ekstrem (ghulat) atau menyimpang dari ajaran utama Syi'ah. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa aliran Syi'ah yang utama tidak mendukung ajaran ekstrem tersebut. Persaingan doktrinal antara ahlus Sunnah dan Syi'ah telah lama ada, tetapi kejadian ini menambah kerumitan pada dinamika sosial dan keagamaan saat itu. Ancaman dari luar juga turut berkontribusi dalam melemahkan dan pada akhirnya menghancurkan kekuasaan Khilafah Abbâsiyah. Salah satu ancaman terbesar adalah mengeluarkan fatwa untuk memobilisasi orang-orang Kristen Eropa dalam Perang Salib, yang juga meningkatkan semangat perlawanan Kristen di wilayah kekuasaan Islam. Kekaisaran Mongol, adalah yang pada akhirnya memberikan ancaman paling mengerikan terhadap kekaisaran Abbasiyah. salah seorang panglima tentara Mongol, memimpin serangan ke wilayah kekuasaan Islam.

Serangan Mongol terhadap pusat-pusat kekuasaan Islam, menimbulkan dampak besar pada struktur politik dan sosial di wilayah tersebut, dan serangan ini menjadi salah satu faktor yang menyumbang pada kemunduran kekuasaan Khilafah Abbasiyah. Dengan pembantaian yang kejam ini, kekuasaan Abbâsiyah di Baghdad berakhir. Kota Baghdad sendiri dihancurkan menjadi puing-puing, seperti kota-kota lain yang dilewati oleh pasukan Mongol. Meskipun telah dihancurkan, Hulaghu Khan
mempertahankan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan pergerakannya ke Syria dan Mesir.

Tetapi juga menandai awal
dari kemunduran politik dan peradaban Islam. Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang kaya dengan ilmu pengetahuan, ikut lenyap dalam kepungan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulaghu Khan tersebut. Dalam sejarah peradaban Islam, periode awal pemerintahan Bani Abbasiyah
memuncak sebagai zaman keemasan bagi peradaban Islam. Secara politis, khalifah memegang peranan yang sangat kuat, menjadi pusat kendali antara urusan politik dan agama. Masyarakat mencapai puncak kemakmurannya dengan
berhasil membentuk landasan perkembangan pendidikan yang mempengaruhi pertumbuhan ilmu filsafat, agama, kedokteran, dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya. Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan pemikiran hukum Islam. masing-masing memberikan kontribusi yang berharga dalam pembentukan dan pengembangan hukum Islam, sesuai dengan konteks dan permasalahan yang dihadapi pada masanya. Tak hanya itu, adanya tokoh-tokoh intelektual seperti melahirkan berbagai pengetahuan yang
tetap mempengaruhi dunia hingga kini.

Dinasti Abbasiyah, terutama pada masa kejayaannya, melahirkan para intelektual Islam terkemuka yang memberikan kontribusi besar pada ilmu pengetahuan. Keberhasilan Dinasti ini tak lepas dari stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi kerajaan. Pusat kekuasaannya berada di Baghdad, di mana pertanian dan sistem irigasi di sungai Eufrat dan Tigris menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat. Perdagangan juga berkembang pesat, menjadi pilar utama kehidupan di Baghdad. Kemajuan Dinasti Abbasiyah mencakup berbagai aspek, dan Bait al-Hikmah adalah bukti nyata kekayaan literasi dan ilmu pengetahuan yang merajai wilayah ini. Pusat ilmu pengetahuan dunia berada di tangan masyarakat Islam. Dan warisannya masih dapat ditemui hingga saat ini. Namun, Dinasti Abbasiyah juga menghadapi tantangan internal dan eksternal yang signifikan, termasuk persaingan politik, pemberontakan, dan ancaman dari
kekuatan asing seperti tentara Mongol. Pada akhirnya, penurunan kekuasaan
politik dan kemunduran ekonomi menyebabkan keruntuhan dinasti ini. Meskipun demikian, warisan Dinasti Abbasiyah tetap bertahan dalam sejarah sebagai periode penting yang membentuk peradaban Islam dan memberikan
kontribusi abadi pada warisan budaya dan ilmiah dunia.

Kisah-kisah kejayaan dan kejatuhan dinasti ini mengingatkan kita tentang dinamika kekuasaan dan perubahan yang terjadi dalam sejarah umat manusia..

As found on YouTube

Follow IG @PendongengMerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *