Siasat Bangau Tua Alkisah hiduplah seekor bangau tua di pinggir sebuah telaga. Karena usianya sudah tua, ia tidak dapat lagi menangkap mangsanya di telaga sebanyak dulu lagi. Akibatnya, tubuhnya mengurus. Ia pun mencari akal untuk mendapatkan makanan supaya ia tidak mati kelaparan. Pagi itu ia melaksanakan rencana yang sudah dipikirkannya semalaman. Ia duduk termenung di pinggir telaga dengan raut muka sedih. Ikan-ikan yang lewat di dekatnya pun tidak berusaha ditangkap seperti biasanya. Tindak tanduknya ini pun jadi pembicaraan hewan-hewan yang hidup di telaga. Akhirnya seekor katak penasaran dan menghampirinya, "Mengapa kamu terlihat sangat sedih dan tidak lagi memburu kami?" Jawab bangau,"Aku bersedih karena para manusia yang tinggal di sekitar telaga berencana untuk menimbun telaga dengan tanah. Kalau itu terjadi, semua makhluk dalam telaga akan mati. Aku pun akan mati kelaparan karenanya. Karena itu aku merasa sangat sedih." Katak sangat terkejut mendengar hal ini dan segera memberitahukannya ke hewan-hewan lainnya di dalam telaga. Tak lama kemudian semua hewan di telaga telah mendengarnya dan merasa panik. Mereka mendatangi bangau untuk minta bantuan. Usul bangau, "Aku tahu ada telaga lain di dekat sini. Aku bisa mengantar kalian ke sana sebelum telaga ini ditimbun tanah.

Tapi karena sudah tua, aku hanya bisa mengangkat satu hewan sekali jalan." Segera para hewan telaga menyetujuinya. Sore itu ia mulai membawa hewan telaga satu per satu, dimulai dari ikan. Begitu sampai di tempat aman yang tak terlihat dari telaga, segera ia telan ikan itu. Lalu ia kembali lagi untuk mengambil ikan berikutnya hingga ia merasa kenyang. Hari demi hari tubuhnya semakin gemuk. Suatu hari seekor kepiting meminta bangau untuk membawanya ke telaga sebelah. Bangau pun menyanggupinya. Ia terbang dengan membawa kepiting di paruhnya. Namun ketika akan hinggap di tempat biasanya, sang kepiting melihat tulang-tulang ikan yang berserakan. Ia langsung menyadari apa yang terjadi, dan mengancam bangau dengan melingkari lehernya dengan capitnya yang besar. Lalu ia usir sang bangau dan ia ceritakan jebakan bangau kepada hewan-hewan telaga. Para hewan telaga berterima kasih pada kepiting dan mengusungnya sebagai pahlawan. Ikan Hiu dan Ikan Lumba-lumba Ikan Hiu dan Ikan Lumba-lumba adalah dua sahabat yang memiliki watak yang berbeda.

Ikan Hiu dikenal mempunyai sifat serakah, ganas, dan kejam. Sedangkan Ikan Lumba-lumba penyabar dan bijak. Walaupun demikian, mereka selalu bersama bila mencari makan. Ketika mencari makan, perbedaan sifat ini juga terlihat jelas. Ikan Lumba-lumba senang memangsa ikan-ikan kecil dan secukupnya, sedangkan Ikan Hiu senang memangsa ikan-ikan besar hingga berlebihan. Ikan Hiu sering menangkap terlalu banyak ikan, hingga bersisa dan tidak mampu lagi dimakannya. Suatu hari, mereka mencari makan bersama. Tiba-tiba, sebuah perahu nelayan tepat berada di atas mereka. Dari atas perahu, nampak dua orang nelayan yang hendak menjaring ikan. Tidak lama kemudian, kedua nelayan menebarkan jaring-jaring perangkap. Ikan Hiu yang lebih awas sempat melihat jaring-jaring tersebut tepat pada waktunya. Ia dapat langsung sigap menghindari jaring-jaring nelayan. Namun tidak demikian dengan Ikan Lumba-lumba. Ia berteriak minta tolong kepada Ikan Hiu, namun sia-sia karena Ikan Hiu tidak berhasil membebaskannya. Ikan Lumba-lumba bersama ikan-ikan kecil lainnya pun terjaring dan diangkut ke atas perahu. Menyadari nasibnya yang akan dijual di pasar, Ikan lumba-lumba menangis. Salah seorang nelayan yang melihat Ikan Lumba-lumba menangis merasa tidak tega. Ia pun akhirnya sepakat dengan nelayan yang lain untuk mengembalikan Ikan Lumba-lumba ke laut. "Terima kasih nelayan! Aku berjanji akan menolong semua manusia yang kesusahan di laut untuk membalas tindakanmu!" ujar Ikan Lumba-lumba dengan gembira.

Ia pun melompat-lompat di depan perahu nelayan dan bersiul gembira. Nelayan-nelayan itu pun pulang dengan perasaan senang. Adapun Ikan Hiu masih terus memiliki rasa dendam kepada manusia. Manusia dianggapnya telah mengancam nyawanya dan merebut jatah makanannya. Berbeda dari sikap Ikan Lumba-lumba, ikan hiu justru bertekad akan memangsa manusia-manusia yang sedang kesulitan di laut. Beri si Beruang yang Jujur Ayah Beri tewas karena tembakan pemburu saat ia masih kecil. Ia dibesarkan oleh ibunya. Suatu hari, Beri mencari kayu di dekat danau dengan membawa kapak peninggalan ayahnya. Saat memotong pohon, tanpa sengaja kapak tersebut tercemplung ke dalam danau. Beri pun panik dan menangis di pinggir danau.

Lalu tiba-tiba muncul seekor Ikan Mas ajaib dari dalam danau. "Hai Beruang Cilik, mengapa kamu menangis?" tanya Ikan Mas. "Kapak peninggalan ayahku terjatuh dalam danau. Aku tidak bisa menemukannya kembali," jelas Beri dengan terisak-isak. "Baiklah, jangan menangis lagi. Aku akan membantumu untuk mencari kapak di dalam danau," janji Ikan Mas. "Terima kasih banyak, Ikan Mas!" seru Beri dengan gembira dan penuh harapan. Ikan Mas ajaib menyelam dan kembali ke permukaan dengan membawa sebuah kapak yang cantik terbuat dari emas berlapiskan batu permata. Ikan Mas bertanya apakah kapak tersebutlah yang dicari Beri, namun Beri menggeleng. Ikan Mas lalu menghilang kembali ke dalam danau. Tak lama kemudian Ikan Mas ajaib muncul dengan kapak berlapiskan perak. Beri kembali menggeleng karena bukan itu kapak peninggalan ayahnya. Ia merasa sangat bersalah telah menghilangkan kapak peninggalan tersebut dan menangis tersedu sedan. Kali ketiga Ikan Mas menyelam, ia membawa sebilah kapak usang dengan tangkai kayu mahoni. "Iya, betul itu kapakku! Terima kasih banyak, Ikan Mas!" seru Beri sembari melompat-lompat girang. Ikan Mas ajaib terkagum-kagum dengan kejujuran Beri.

Atas kejujuran Beri, ia berikan imbalan berupa kapak emas dan perak tadi. Beri pun menerima kedua kapak tersebut dan pulang dengan hati gembira. Ia berencana untuk membahagiakan ibunya dengan hasil penjualan kapak tersebut. Asal-Usul Nama Surabaya Pada zaman dahulu kala, hiduplah seekor hiu bernama Sura dan buaya bernama Baya. Sura tinggal di laut sedangkan Baya hidup di sungai. Sura suatu ketika berenang ke sungai yang bermuara ke laut. Ia sangat senang karena di sungai itu banyak mangsa lezat yang tak pernah ia jumpai di laut. Sejak itu pun Sura setiap hari pergi ke sungai untuk mencari mangsa. Suatu hari, Baya melihat Sura asyik menangkap katak. Suatu hari, Baya melihat Sura asyik menangkap katak. Hai, Sura. Kenapa kau bisa ada di sungai ini? Pantas saja mangsaku tidak sebanyak dulu. Ternyata engkau biang keroknya!” ujar Baya sengit. Hai, Baya! Memangnya sungai ini punyamu? Terserah aku mau cari mangsa di mana saja!” sahut Sura marah. Baya geram dan langsung menyerang Sura. Keduanya pun bertarung dengan hebat. Sampai tengah malam, pertarungan belum berhenti jua.

Sura dan Baya lama-lama kesal dan lelah karena lawannya itu sama-sama kuat.  Mereka akhirnya sepakat untuk membagi wilayah kekuasaannya. Sura tak boleh melintasi muara sungai. Baya juga tak boleh ke laut melintasi muara sungai. Keduanya berdamai dan Sura kembali ke laut. Beberapa bulan kemudian, Sura merasa bosan dengan ikan-ikan di laut. Ia sangat ingin menyantap hewan-hewan di sungai yang lezat. Sura lalu diam-diam pergi ke sungai, melanggar perjanjiannya dengan Baya. Alangkah senangnya ia karena langsung mendapatkan mangsa yang telah lama diinginkannya. Ia lekas kembali ke laut setelah perutnya kenyang. Sura berenang lagi ke sungai esok harinya. Namun, celaka! Baya kali ini menangkap basah dirinya. "Hai, Sura! Kenapa kau kembali ke sungai? Apakah kau lupa dengan perjanjian kita?” tanya Baya geram.

“Lalu kenapa kau tak ke laut saja kalau begitu? Aku tak akan melarangmu!” timpal Sura tanpa rasa bersalah. Baya langsung berang, “Kamu telah melanggar perjanjian, Sura! Aku tak akan mengampunimu!” Seketika Baya langsung menubruk Sura. Keduanya berkelahi dengan sengit. Mereka saling menyerang dan menggigit. Air di sekitarnya berubah merah karena kucuran darah mereka. Sura dan Baya akhirnya mati dengan luka di sekujur tubuhnya. Hari-hari berlalu, kisah Sura dengan Baya pun tak lekang oleh waktu. Untuk mengenangnya, wilayah di sekitar terjadinya pertarungan Sura dengan Baya itu dikenal dengan nama Surabaya. Pertarungan antara Sura dan Baya juga dijadikan sebagai lambang Kota Surabaya. Bebek Buruk Rupa Alkisah, di sebuah hutan lebat, seekor induk bebek sedang mengerami telur-telurnya. Tak lama berselang, telur-telur itu pun menetas. Tapi ada satu telur yang belum menetas. Telur itu lebih besar dari keempat telur lainnya.

Akhirnya telur besar itu menetas juga. Anehnya, anak bebek itu berbeda dengan keempat saudaranya. Bulunya berwarna abu-abu, sedangkan anak-anak bebek lainnya berbulu kuning. Induk Bebek dan keempat saudaranya menatapnya heran. “Mengapa engkau berbeda dengan kami?” tanya salah satu saudaranya. Engkau jelek sekali!” sahut saudaranya yang lain. Bebek Abu-abu itu pun hanya bisa bersedih hati. Suatu siang yang cerah, keempat anak bebek pergi berenang di danau. Ketika Bebek Abu-abu ingin bergabung, ia langsung diusir. Ayam dan Babi yang dijumpainya pun langsung membuang muka saat disapa. Anjing yang sedang mengejar anak-anak ayam bertemu dengannya, dan seketika berhenti dan berbalik meninggalkannya. “Saking buruknya rupaku, bahkan Anjing pun tak sudi mengejarku,” ucap Bebek Abu-abu sambil menangis. Bebek Abu-abu merasa sedih karena tidak punya teman. Ia pergi meninggalkan rumahnya dan berjalan tanpa tujuan sambil terus meneteskan air mata.

Hingga tibalah ia di suatu danau nan jauh di hutan seberang. Di permukaan danau itu, ia melihat bayangan sekawanan burung berbulu putih yang terbang dengan anggun di atasnya. Ia pun mendongak takjub. Tak pernah ia melihat burung-burung secantik itu. Hari terus berlalu. Ia terus mengembara hingga akhirnya pingsan karena terlalu lapar dan lelah. Untunglah seorang petani tua menemukannya dan membawanya pulang untuk dirawat. Bebek Abu-abu tinggal bersama sang Petani Tua hingga ia tumbuh dewasa. Suatu hari, ia berenang di danau. Tiba-tiba sekawanan burung yang pernah dilihatnya dulu datang menghampirinya. Ternyata, mereka adalah angsa. Baik, aku akan pergi dari sini,” ujar Bebek Abu-abu berenang menjauh, takut diusir. Kawanan angsa itu bingung. Tak sengaja Bebek Abu-abu melihat bayangan asing di permukaan air. Ia menengok ke kanan ke kiri, tapi tak ada yang sedang di dekatnya. Tak percaya kalau itu dirinya, dikepakkanlah kedua sayapnya. Bayangan itu ternyata persis mengikutinya. Ah, aku bukan lagi Bebek Buruk Rupa, pikirnya. Dirinya cantik dan anggun. "Kenapa kau pergi? Kau adalah bagian dari kami juga,” tanya salah satu angsa mendekatinya. Bebek Buruk Rupa kini menyadari bahwa ia sebenarnya adalah angsa. Ia pun akhirnya bergabung dengan kawanan angsa untuk berenang bersama.

Kini ia tak sendirian lagi. Terbanglah ia dengan bahagia bersama kawan-kawannya.  Serigala dan Tujuh Anak Domba Alkisah, hiduplah ibu domba beserta tujuh anaknya di sebuah hutan. Ibu Domba sangat menyayangi anak-anaknya. Suatu siang, Ibu Domba pamit mencari makan. "Anak-anakku, Ibu akan mencari makan di luar. Tunggulah di pondok, ya. Ingat, jangan bukakan pintu untuk siapa pun. Waspadalah, mungkin ada serigala jahat yang ingin memakan kalian," pesan Ibu Domba. "Baik Bu, kami tidak akan membukakan pintu untuk siapa pun," ujar anak-anak domba. Ibu Domba pun pergi mencari makan. Tanpa disadari, diam-diam ada seekor serigala yang mengamati Ibu Domba menjauh dari pondok. Serigala gembira melihat Ibu Domba pergi. Itu berarti ia memiliki kesempatan untuk memakan Tujuh Anak Domba. Serigala pun mendekati pondok para domba. Ia berpura-pura menjadi Ibu Domba untuk mengelabui anak-anak domba. "Anak-anakku, Ibu pulang. Tolong bukakan pintu!” Si Domba Sulung berkata, "Hei, Adik-adik, suara ibu kita, kan, tidak parau.

Pasti ini Serigala. Pergilah kau Serigala! Kami tahu kau bukan ibu kami!" usir si Domba Sulung. Serigala menjauh dengan kesal. Namun, ia mendapat ide. Ia memakan kapur agar suaranya halus. Lalu, dirinya kembali untuk mengelabui anak-anak domba. Akan tetapi, kali ini anak-anak domba mengenali Serigala dari kakinya yang hitam dan dipenuhi cakar. Serigala pun pergi dengan geram. Kali ini, Serigala punya ide baru. Ia melumuri kakinya dengan tepung. "Kali ini aku pasti berhasil. Warna kakiku, kan, sudah mirip dengan kaki Ibu Domba," ujar Serigala sembari terkekeh. Serigala segera kembali ke pondok para domba. Benar, kali ini ia berhasil. Anak-anak domba akhirnya tertipu dan membukakan pintu.

Serigala segera mengejar anak-anak domba yang ketakutan. Serigala berhasil memakan mereka semua, kecuali si Bungsu yang bersembunyi di dalam jam besar. "Di mana yang satu lagi? Ah, biarkan saja. Toh, aku sudah kenyang," ujar Serigala. Ia pun pergi menjauh dari pondok. Setelah Serigala pergi, Ibu Domba pulang. Ia terkejut mendapati rumahnya yang porak poranda. Ia memanggil anak-anaknya dengan khawatir. Namun, hanya si Bungsu yang muncul. "Ibu! Serigala memakan saudara-saudaraku!" ujar Domba Bungsu sambil menangis. Ibu Domba menenangkan Domba Bungsu. Lalu Ibu Domba mengajak si Bungsu untuk bersama mencari Serigala, yang sudah berjalan ke arah sungai.  Ibu Domba dan si Bungsu segera menuju sungai. Benar, di sana ada Serigala. Binatang itu tertidur kekenyangan setelah memakan enam anak domba.  Diam-diam, Ibu Domba mendekat. Ia memeriksa perut Serigala. Ada yang bergerak-gerak. Ibu Domba lega, ternyata anak-anaknya masih hidup. Ibu Domba pun meminta Domba Bungsu untuk mencari benang, jarum, dan gunting.  Si Bungsu segera pulang untuk mengambil benda-benda tersebut.

Setelah benda-benda itu ada, Ibu Domba mulai menggunting perut Serigala. Tampaklah enam anaknya yang masih hidup. Mereka sangat gembira melihat Ibu Domba. Ibu Domba pun memeluk mereka semua.  "Anak-anak, mari kita beri pelajaran pada Serigala jahat. Sekarang, ambillah beberapa batu di sana. Kita isi perut Serigala dengan batu-batu itu.” Ketujuh Anak Domba pun segera mengambil bebatuan dan memasukkannya ke perut Serigala. Setelah penuh, Ibu Domba menjahit kembali perut Serigala.

Lalu, ia mengajak anak-anaknya bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Serigala pun bangun beberapa saat kemudian. Namun, ia mendengar bunyi aneh dari perutnya. "Ah, kenyang sekali aku. Tapi tunggu dulu, kenapa ada bunyi aneh dalam perutku? Apakah aku juga menelan batu?" Serigala segera menuju sungai untuk minum. Namun, tubuhnya terasa sangat berat. Akhirnya, ia kehilangan keseimbangan dan tercebur. Serigala pun hanyut terbawa arus sungai. Ibu Domba dan tujuh anak-anaknya keluar dari pohon. Mereka menyaksikan Serigala hanyut dengan gembira. Akhirnya, kini tidak ada lagi Serigala jahat yang mengganggu mereka. Asal Mula Burung Cenderawasih Alkisah, hidup seorang wanita bersama putranya yang bernama Kweiya. Mereka berdua hidup di hutan. Untuk penghidupan sehari-hari, sang ibu mencari buah-buahan untuk dimakan. Sementara itu, Kweiya menebang pohon untuk membuka ladang. Suatu hari, ketika sedang menebang pohon, Kweiya dihampiri oleh seorang pria.

"Nak, kamu semangat sekali. Tubuhmu yang kecil tidak jadi penghalang ketika menebang pohon yang besar ini," ujar lelaki itu. Kweiya tersenyum mendengar pujian dari lelaki itu. "Kebetulan aku punya kapak yang bagus untuk menebang pohon. Pakailah kapak ini. Tapi ingat, jangan tebang pohon yang masih muda. Tebanglah pohon-pohon yang tua, ya," ujar si lelaki sembari mengulurkan kapak besi miliknya. "Wah, terima kasih banyak," ucap Kweiya senang. Ia segera memakai kapak tersebut. Tak disangka-sangka, memang benar kapak itu membuat kerjanya jadi lebih ringan. Kini, ia bisa membuka ladang baru dengan mudah. Karena merasa tertolong, Kweiya pun memperkenalkan lelaki itu pada ibunya. Setelah saling mengenal beberapa lama, ibu Kweiya dan lelaki tersebut menikah. Dari pernikahan tersebut, mereka memiliki tiga orang anak. Tahun demi tahun berganti. Kweiya kini memiliki adik-adik yang sangat ia sayangi. Kweiya sangat disayang oleh kedua orang tuanya karena ia rajin. Tapi hal ini malah membuat adik-adiknya iri. Suatu hari, dua adik Kweiya bersekongkol untuk mengeroyok Kweiya.

Karena tidak ingin menyakiti adik-adiknya, Kweiya mengalah dengan tubuh yang luka-luka. Anak itu pun bersembunyi di rumah dengan sedih. Untuk mengusir rasa sedihnya, ia memintal tali dari kulit pohon pogak nggein. Adik bungsu Kweiya yang tidak ikut mengeroyok Kweiya melaporkan kejadian tadi kepada ibunya. Ibu Kweiya terkejut. Ia segera mencari Kweiya untuk mengecek keadaan putranya itu. Sang ibu masuk ke rumah sembari memanggil-manggil Kweiya dengan khawatir. Namun, yang ia temukan di rumah bukanlah putranya, melainkan seekor burung jantan yang indah! Burung tersebut berparuh gelap dan bersuara "wong, wong, wong, wong, ko, ko, ko, wo, wik !" Burung itu juga terlihat menggenggam benang pintalan di kakinya yang kecil. Sang ibu mengenali Kweiya dan berucap dengan linangan air mata, "Kweiya, mengapa kau jadi seperti ini, Nak?" Lalu ibu Kweiya melihat benang pintalan yang sama di lantai. Ia segera meraih benang tersebut dan diletakkan di ketiaknya. Setelah itu, ia juga berubah menjadi seekor burung. Tak berapa lama, adik-adik Kweiya menemukan kakak sulung dan ibu mereka telah berubah menjadi burung. Mereka sangat sedih dan menyesal. Namun, semuanya sudah terjadi. Kini, Kweiya dan sang ibu yang sudah menjadi burung hidup di dahan-dahan pohon. Kweiya berwujud burung yang berbulu panjang, sedangkan ibu Kweiya menjadi burung berbulu pendek.

Hingga sekarang, burung-burung seperti ini dikenal dengan nama burung cenderawasih. Kancil dan Pak Tani Sore itu, Pak Tani memandang kebunnya sembari berkacak pinggang. Banyak mentimun yang sudah siap panen lagi-lagi menghilang! Sudah dua hari ini hasil kebunnya menghilang dimakan kancil. Pak Tani tahu karena ia sempat melihat sekelebatan Kancil yang berlari menjauh. Pak Tani tentu saja tidak senang dan ingin mencegah si Kancil mencuri mentimun di kebunnya lagi. Setelah berpikir keras dan menemukan ide, ia bergumam “Kali ini, kau pasti akan tertangkap, Kancil!” Keesokan paginya, Kancil datang kembali ke kebun Pak Tani.

Awalnya, binatang itu ragu karena ia melihat sosok Pak Tani dari kejauhan. Namun, setelah mencermati beberapa saat, Kancil menyadari bahwa yang dilihatnya itu adalah orang-orangan sawah. Kancil pun mendekati orang-orangan sawah dari jerami itu. “Kusangka benar-benar Pak Tani. Ternyata, malah orang-orangan sawah! Hahaha …” ujar Kancil terkekeh geli. “Pak Tani, aku minta izin mengambil lagi mentimunmu yang lezat ya!” canda si Kancil sembari mendorong kayu orang-orangan sawah. Alangkah kagetnya Kancil! Kakinya yang menyentuh kayu tidak bisa ditarik kembali! Rupanya, Pak Tani telah melumuri kaki orang-orangan sawah itu dengan getah karet yang sangat lengket. Kancil berusaha melepaskan kakinya. Namun, kakinya malah semakin lengket pada kaki orang-orangan sawah itu. Pak Tani datang beberapa saat kemudian sembari tertawa. “Akhirnya kau tertangkap juga, Cil! Tunggulah hukumanmu nanti dalam kurungan!” ujarnya. Kancil yang tak berdaya akhirnya dikurung dalam sebuah kandang. Di sana, ia dijaga oleh anjing Pak Tani yang setia. Kancil terus memutar otaknya agar ia bisa lolos dari situ. Ia melirik pada anjing yang menjaganya dan bertanya,“Hei, Kawan! Tahukah kamu kenapa aku ditempatkan di sini?” Anjing membalas, “Ya.

Bukankah karena kau mencuri mentimunnya Pak Tani?” Kancil berpura-pura tertawa. Ia membantah jawaban si Anjing. “Kau salah besar, Kawan! Aku di sini karena Pak Tani tidak punya tempat khusus untukku. Ia akan mengadakan pesta dan aku menjadi tamu kehormatannya.” “Benarkah?” tanya si Anjing. “Kenapa kamu yang diundang, bukan aku? Padahal aku adalah peliharaannya yang setia menaati perintahnya.” ujar si Anjing dengan nada iri. Si Kancil diam sejenak. Ia lalu membalas, “Ya, kamu memang lebih layak jadi tamu kehormatan di pesta itu. Kalau kau mau, aku bisa memberikan tempatku di pesta itu. Jadi, kau bisa menyantap aneka makanan yang lezat di sana! Namun, syaratnya kau harus membantuku keluar dari kandang ini dulu.” Mendengar itu, Anjing menjadi tergoda. Ia lalu menyetujui tawaran Kancil. Ditolongnya Kancil keluar kandang. Setelah itu, Anjing berterima kasih kepada Kancil karena telah memberikan tempatnya. Kemudian, Anjing melamun sambil memikirkan makanan-makanan lezat yang akan ia santap di pesta. Saat Anjing lengah, Kancil mendorong Anjing ke dalam kandang dan menguncinya. Kancil yang cerdik segera melarikan diri. “Kancil!! Kau menipuku!” geram si Anjing. Kancil hanya terkekeh sembari berlari sekencang mungkin menjauhi kebun Pak Tani.

Kebo si Kerbau yang Cerdas Kebo kini sudah tua. Seumur hidupnya ia bekerja membantu Pak Tani membajak sawah. Sekarang ketika sudah tidak kuat lagi, ia dilepaskan Pak Tani di pinggir hutan. Setelah ditinggal sendirian, Kebo pun mulai menjelajahi hutan tempat tinggal barunya itu. Ia menemukan gua untuk ditinggali. Di sekitar gua ada banyak rerumputan segar yang bisa ia makan sepuasnya. Saat makan rumput, seekor rubah menghampiri Kebo. Rubah itu menyapanya. "Hai, Kerbau." "Halo, Rubah." "Kelihatannya, kau baru datang ke sini ya? Kulihat, kau menempati gua itu. Apa kau tak tahu kalau gua itu sudah ada penghuninya?" tanya si Rubah. "Memangnya siapa penghuni gua itu?” "Tentu saja aku penghuninya," balas si Rubah. "Aku adalah Raja Hutan ini! Selaku pendatang baru, kamu harus mengalah dan keluar dari gua itu." Kebo tidak lantas mempercayai Rubah. "Aku tidak mau. Kau kira aku mudah ditipu? Jangan berbohong kepadaku, Rubah," ucap si Kebo. Ia lalu berbalik masuk ke dalam gua. "Sombong sekali. Lihat saja nanti kalau penghuni gua itu kembali! Pasti kau akan dimangsanya," ancam Rubah dari luar gua.

Setelah ditinggalkan Rubah, Kebo pun berpikir,"Bagaimana kalau memang ada penghuni gua yang ingin memangsaku? Aku harus berjaga-jaga agar tidak celaka.” Menjelang sore, benar saja Kebo melihat sosok harimau yang sedang berjalan mendekati gua. Kebo ketakutan. "Pasti ia penghuni gua ini," pikirnya. “Jangan sampai aku dimangsa olehnya. Tenang Kebo, kau harus berpikir jernih." Sesaat kemudian, Kebo mendapatkan ide cemerlang. Saat harimau berada di mulut gua, Kebo berujar, "Lihat! Ada harimau mendekat. Pasti dagingnya lezat sekali." Harimau samar-samar mendengar suara dari dalam gua yang gelap. “Ya betul. Ayo tunggu harimau itu datang ke mari. Aku sudah lapar! Pasti dagingnya sangat banyak karena tubuhnya besar," ucap Kebo dengan suara yang dibuat sangar. Harimau menjadi ngeri. Ia berbalik arah dan lari terbirit-birit menjauhi gua.

Saat berlari, ia berpapasan dengan Rubah. Rubah terkejut melihat Harimau yang tampak ketakutan. "Wahai Harimau, ada apa gerangan? Kau tampak ketakutan." "Barusan aku mendengar ada dua makhluk buas di gua tempat tinggalku. Mereka berencana untuk memakanku!" Mendengar itu, Rubah terkejut. "Setahuku, bukan makhluk buas yang ada menempati guamu, melainkan seekor kerbau!" "Jangan mengada-ada kau, Rubah!" "Benar. Kalau tak percaya, ayo kita ke sana!" Walaupun masih ragu, Harimau menuruti Rubah.

Mereka kembali menuju gua. Namun, saat sudah dekat, mereka mendengar suara. "Wahai Rubah, kau benar-benar pintar! Kau telah menggiring Harimau yang kabur itu kembali ke gua kami. Sekarang, kami dapat menyantap daging kalian yang lezat! Hohoho …" ujar Kebo. Harimau dan Rubah sangat ketakutan mendengarnya. Mereka pun lari menjauhi gua itu tanpa menoleh ke belakang. Akhirnya, Kebo bisa bernapas lega di guanya sendiri. Petualangan Maya Si Lebah Namaku Maya, dan aku sangat suka bertanya. Suatu hari, aku dan teman-temanku para lebah kecil berkeliling sarang dengan Bu Guru. Kami mengamati kegiatan warga lebah di sarang. "Kenapa mereka harus bekerja, Bu?" aku mulai bertanya. "Lebah memang harus bekerja, Maya. Jika kita tidak bekerja, rumah kita jadi tak terurus. Contohnya, sarang harus dibersihkan supaya tidak kotor. Lalu nektar juga perlu dikumpulkan supaya kita bisa makan." “Nektar itu apa, Bu?" tanyaku lagi. "Nektar itu cairan manis yang diambil dari bunga." "Bagaimana cara kita mengambil nektar itu, Bu?" Caranya, para lebah pekerja harus keluar mencari bunga-bunga yang mekar. Dari setiap bunga itulah nektar pelan-pelan dikumpulkan." Bu Guru menjawab semua pertanyaanku dengan sabar.

"Nah, sekarang, kalian akan belajar menjadi lebah pekerja. Masing-masing akan mendapatkan tugas yang berbeda. Yuk, dikerjakan dengan rajin!" "Baik, Bu Guru!" Mulai hari itu, kami para lebah kecil bekerja dengan rajin sesuai dengan tugas masing-masing. Ini berlanjut hingga kami tumbuh besar. Semua kawanku masih saja mengerjakan tugas yang sama dari awal. Namun, aku berbeda. Karena selalu ingin tahu, aku terus mencoba hal-hal baru. Yang paling buat aku penasaran adalah kerja di alam bebas. Suatu hari aku berhasil mendapatkan tugas untuk mencari nektar di luar sarang. “Maya, kalau kamu nanti keluar sarang, kamu perlu tahu caranya menghindari tawon yang suka mengganggu lebah. Tawon adalah sejenis serangga bersayap. Tubuh mereka dilapisi pelindung. Hanya bagian kepala sampai leher yang tidak.

Berhati-hatilah agar kamu tak tertangkap oleh mereka. Jangan sampai kamu terpisah dari kelompokmu,” nasihat Bu Guru. "Baik, Bu Guru.” Ketika saatnya keluar sarang, aku merasa sangat senang. Di sepanjang jalan, ada banyak hal baru yang aku lihat. Ada rerumputan hijau dan pepohonan rindang. Ada juga binatang-binatang yang hidup di atas tanah. Karena terlalu asyik melihat sana-sini, aku jadi terpisah dengan para lebah lain. Aah… sungguh sial! Tiga sosok binatang bersayap telah datang mengepungku. "Kalian tawon bukan?" tanyaku dengan hati-hati. "Benar. Kami adalah tawon. Sekarang, kami akan menangkapmu. Kau tak akan bisa lolos! Hahaha …" ujar salah satu tawon. Aku berusaha melarikan diri, tapi gagal! Aku pun ditangkap dan dikurung oleh para tawon.

Ketika sedang duduk di kurungan, aku mendengar percakapan beberapa tawon penjaga. "Ayo serang sarang lebah besok pagi. Pasti mereka tidak akan menang melawan kita." "Ya! Setuju!" ucap lebah-lebah lainnya. Aku jadi merasa khawatir. "Aku harus segera kabur dan mengabari Ratu Lebah,” pikirku. Aku coba mengingat-ingat perkataan Bu Guru tentang kelemahan tawon. Ketika ada seekor tawon membuka pintu kurunganku, segera kutendang leher tawon itu.

Buk!! Tawon itu pun jatuh kesakitan. Aku pun segera menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Setibaku di sarang lebah, aku langsung menghadap Ratu Lebah dan mengabarkan rencana Tawon. Mendengar itu, Ratu Lebah segera memerintahkan para lebah untuk bersiaga. Saat pagi datang, para prajurit lebah sudah berjejer di luar sarang untuk menghadapi para tawon. Benar saja, tak lama kemudian, terlihat rombongan tawon di kejauhan. "Ayo, serbu mereka!!" teriak salah satu tawon. Pertempuran pun terjadi.

Para tawon menyerang dengan percaya diri. Namun, kami sudah tahu cara untuk mengalahkan tawon. Itu semua karena trik yang aku berikan. “Serang leher para tawon!” seru para prajurit lebah. Tawon-tawon itu pun berhasil dikalahkan dan melarikan diri. Hari itu kami berhasil selamat! Aku pun semakin senang dan bangga karena Ratu Lebah berterima kasih kepadaku. Ternyata rasa ingin tahuku berhasil menyelamatkan semua lebah di sarang ini!.

As found on YouTube

Follow IG @PendongengMerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *