Halo Bismillahirohmanirohim Assalamualaikum 
warahmatullahi wabarakatuh sahabat berbagi   kisah rohimakumullah di kesempatan kali 
ini saya akan berbagi kisah tentang kisah   perjalanan hidup manusia Agung Rasulullah Muhammad 
Shallallahu Alaihi Wasallam siroh Nabawiyah bagian Singa Padang Pasir

Orang-orang terus   menertawakan Rasulullah setiap kali lewat. 
"Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!"

  Abu Jahal terus menyemangati 
orang-orang yang mengejek sambil   kerap kali melontarkan caci maki juga.

Rasulullah mendadak berhenti melangkah.   Beliau berpaling dengan tenang menghadap Abu 
Jahal, dengan sorot matanya tajam. Abu Jahal   berhenti dan terdiam. Dengan wajah sayu 
penuh belas kasihan, Rasulullah memandang   orang-orang kecil yang mengejeknya. Seketika, 
sorak-sorai pun mereda. Semua orang yang berada   di sekitar tempat itu terpesona melihat 
keadaan Rasulullah. Baru kali ini mereka   seolah disadarkan, betapa menyakitkannya 
ejekan mereka itu diterima Rasulullah.  Sorot mata Rasulullah seolah berkata, "Mengapa 
kalian mengejekku? Bukankah aku sedang berjuang   menyelamatkan kalian dari kekejaman bangsa 
Quraisy dengan membawa Islam yang mulia?   Seandainya kalian tahu, ejekan Abu Jahal 
itu tidak begitu menyakitkan dibanding   kata-kata kalian, sebab kepada kalianlah 
Allah meyuruhku menebar kasih sayang."  Tanpa sepatah kata pun, Rasulullah berlalu. 
Orang-orang bubar dengan membawa perasaan   masing-masing.

Tatapan Rasulullah tadi sangat 
berkesan di hati seorang budak perempuan.   Ketika budak itu berjalan pulang, ia 
melihat Hamzah bin Abdul Muthalib datang.

  Hamzah adalah paman Nabi, usia 
mereka hampir sebaya. Dari kecil,   Rasulullah dan Hamzah dibesarkan bersama, 
bermain bersama, dan menjadi sahabat karib.   Karena itulah Hamzah begitu menyayangi Rasulullah.
Hamzah berjalan gagah dan bangga memasuki Mekah.   Ia betul-betul laki-laki perkasa 
dengan perawakan tinggi dan kekar.   Dengan wajah angkuh, Hamzah melangkah sambil 
menyandang busurnya.

Ia habis berburu.  Orang-orang yang melihatnya pun berbisik 
kagum. Namun, budak perempuan tadi merasa   ada yang janggal, mengapa orang segagah ini 
tidak membela Muhammad, keponakannya sendiri?  Mengapa ia bisa setenang itu?
Tahukah ia bahwa Muhammad   keponakannya, dicaci maki orang?
Muhammad dihina pemimpin kabilah   lain yang menjadi saingan Bani Hasyim!
Pantaskah ia disebut sebagai pemuda perkasa   yang pantang menyerah pada lawan, sedangkan ia 
tidak berbuat apa pun ketika seorang keluarga   Bani Hasyim dicaci maki orang?
Dengan dada hampir meluap,   budak perempuan itu menegur Hamzah, "Tuan, tidak 
tahukah Anda apa yang menimpa kemenakanmu itu?"  Hamzah berhenti dan budak perempuan itu 
menceritakan apa yang dilihatnya. Dalam   sekejap saja, wajah Hamzah memerah. Tanpa berkata 
apa pun, ia berbalik menuju Ka'bah dengan langkah   bergegas.

Ia mencari Abu Jahal.
Kebimbangan Hamzah  Di depan Ka'bah, Abu Jahal bercerita kepada 
beberapa temannya, "Puas rasanya melihat   Muhammad dicaci begitu banyak orang", ujar Abu 
Jahal, "Kalau kuberi semangat sedikit lagi,   bukan tidak mungkin mereka akan memukulinya."
Teman-temannya terlihat ikut bersemangat.   Beberapa orang mulai ikut bicara, tetapi mendadak 
semuanya terdiam dan memandang ke satu arah.   Abu Jahal ikut menoleh dan seketika 
kerongkongannya tercekat. Hamzah bin Abdul   Muthalib, sang pahlawan Bani Hasyim, menjulang 
di belakangnya dengan mata menyala tanpa ampun.  "Beraninya engkau mencaci maki Muhammad, 
padahal aku telah memeluk agamanya? Coba   lakukan penghinaanmu kepadaku 
jika engkau benar-benar jantan!" Setelah berkata begitu, Hamzah 
melayangkan busurnya. Bunyinya mendecit,   cepat , dan keras sehingga 
kepala Abu Jahal pun terluka.  Beberapa teman Abu Jahal serempak berdiri. 
Tampaknya, perkelahian tidak terhindarkan lagi.   Ketika Abu Jahal melihat ini, ia mengangkat tangan 
untuk mencegah teman temannya. Abu Jahal yakin,   dalam keadaan seperti itu, Hamzah 
tidak akan ragu-ragu membunuh orang.  Dengan napas tersengal, Abu Jahal memegangi 
kepalanya. Ia berkata sambil menahan marah,   "Kita tinggalkan saja dia! Aku memang 
telah mencaci maki kemenakannya."  Mereka pun pergi dengan geram dan murung. 
Namun, hati Hamzah belum lagi lega.

Ia   pulang dengan bimbang, "Mengapa begitu 
mudah kutinggalkan agama nenek moyangku?"  Setelah melewati malam yang gelisah, 
Hamzah akhirnya berdoa, "Ya Tuhan,   jika Muhammad benar, teguhkanlah hatiku. 
Jika Muhammad salah, jauhkanlah aku darinya!"  Hamzah menemui Rasulullah dengan sedih dan 
menceritakan semua kegelisahan hatinya. Rasulullah   lalu membacakan beberapa ayat Al Qur'an.
Perlahan, hati Hamzah dipenuhi rasa tenang, haru,   dan kagum. Dengan bulat hati, ia pun berkata,
"Aku menyaksikan bahwa engkau itu sungguh benar,   maka itu tampakkanlah agamamu, 
hai anak saudaraku!"

  Bukan main bersyukurnya Rasulullah. Kini, 
Islam telah memiliki benteng yang kuat dalam   menghadapi kekerasan Quraisy. Hamzah memeluk 
Islam pada akhir tahun ke enam kenabian   (nubuwwah).
Orang-orang Quraisy   tidak putus asa, Mereka mempunyai cara 
lain untuk menekan perjuangan Rasulullah.  Singa Allah dan Singa Rasul-Nya
Kemudian seluruh kegagahan Hamzah dibaktikannya   untuk membela Allah dan agama-Nya, sehingga 
Rasulullah memberi Hamzah julukan istimewa,   Singa Allah dan Singa Rasulullah. Hamzah 
adalah komandan Sariyah yang pertama.  Sariyah adalah pasukan Muslim yang 
berangkat tanpa disertai Rasulullah. Tawaran Utbah bin Rabi'ah  "Sesak dadaku melihat Muhammad dan para 
pengikutnya!" teriak seorang pembesar Quraisy.   "Setiap hari mereka semakin kuat!" geram yang 
lain.

"Semua gangguan dan siksaan kita seolah   tidak berpengaruh apa-apa. Sangat mengherankan!" 
gerutu yang lain menggelengkan kepala.  Ketika suasana bertambah panas, Utbah bin Rabi'ah 
berdiri. Semua orang memandangnya dan menunggu.  "Kalau jalan kekerasan tidak membuahkan hasil, 
sudah saatnya kita mencoba cara lain, " kata   Utbah bin Rabi'ah. Suaranya pelan dan tenang.
"Kalau kalian setuju, aku akan bicara dengan   Muhammad dan menawarkan beberapa hal 
menarik kepadanya. Apakah kalian setuju?"  Setelah terdiam sejenak, akhirnya 
orang orang Quraisy itu pun setuju.  "Coba laksanakan usulmu! Kami bersedia memberi 
apa saja asal Muhammad mau bungkam!" kata mereka.  Utbah bin Rabi'ah pun menemui Rasulullah.
"Anakku," katanya lembut,  "engkau adalah orang terhormat.

Namun kini, 
engkau membawa soal besar sehingga masyarakat   kita tercerai-berai. Sekarang dengarlah, 
kami menawarkan kepadamu beberapa hal,   mungkin sebagiannya bisa engkau terima. Anakku, 
kalau yang engkau inginkan adalah harta,   kami siap mengumpulkan dan memberikan harta 
kami sehingga engkau akan menjadi seorang   paling kaya. Kalau engkau ingin kedudukan, 
akan kami angkat engkau sebagai pemimpin kami   sehingga kami tidak akan mengambil keputusan tanpa 
persetujuanmu. Kalau engkau ingin menjadi raja,   akan kami nobatkan engkau menjadi raja kami. Jika 
engkau diserang penyakit yang tidak dapat engkau   sembuhkan sendiri, akan kami biayai pengobatannya 
dengan harta kami sampai engkau sembuh."  Rasulullah terdiam sejenak. Utbah bin Rabi'ah 
merasa kata katanya yang berbunga itu seolah   menguap tanpa jejak ke udara.
Surat Fushilat  Rasulullah lalu membaca ayat-ayat Al Qur'an 
Surat Fushilat mulai dari ayat pertama:
  Dengan menyebut nama Allah Yang 
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  Haa Miim. (Haa Miim) hanya Allah saja 
yang mengetahui arti dan maksudnya.
  Diturunkan dari Tuhan Yang Maha 
Pemurah lagi Maha Penyayang.
  Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan 
dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui,
  yang membawa berita gembira dan yang 
membawa peringatan, tetapi kebanyakan   mereka berpaling (daripadanya); maka 
mereka tidak (mau) mendengarkan.
  Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan 
(yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya   dan di telinga kami ada sumbatan dan antara 
kami dan kamu ada dinding, maka lakukanlah   (sesuai kehendak kamu); sesungguhnya kami 
akan melakukan (sesuai kehendak kami)".
  Rasulullah terus membacakan ayat-ayat 
lanjutannya yang menuturkan tentang   Rasulullah hanyalah seorang pemberi 
peringatan, tentang gunung-gunung yang kokoh,   tentang penciptaan langit dan tujuh lapisannya, 
tentang azab petir yang menimpa kaum Tsamud,   tentang ngerinya nasib kaum kafir 
yang menolak wahyu dari Allah.  Ayat-ayat itu begitu memesona Utbah sampai 
ia lupa pada apa yang ia tawarkan kepada   Rasulullah.

Hatinya semakin hanyut, larut, dan…
"Cukuplah Muhammad. Cukuplah sekian saja!"   seru Utbah. Ia diam sejenak, 
lalu kemudian bertanya lagi,  "Apakah engkau dapat menjawab 
selain yang tadi engkau baca?"  "Tidak".
Utbah terpana.  "Jadi, inilah Muhammad," pikirnya.  "Laki laki ini bukanlah orang yang ingin 
memiliki gunungan harta, kedudukan,   kerajaan, dan sama sekali bukan orang sakit. 
Ia hanyalah orang yang ingin mempertahankan   tugasnya dengan baik sekali dan ia tadi 
mengucapkan kata kata penuh mukjizat…"  Begitulah, akhirnya Utbah bin 
Rabi'ah kembali dengan tangan hampa.   Para pembesar Quraisy pun kecewa karena 
Rasulullah menolak tawaran mereka.

Kemudian,   penganiayaan dan siksaan terhadap kaum 
Muslimin pun berlanjut dan semakin ganas. Ke Habasyah
Gangguan terhadap kaum   Muslimin semakin berat dari hari ke hari. Bahkan, 
beberapa orang gugur karena disiksa terlalu keras.   Berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah 
pun memerintahkan agar mereka berhijrah.  "Wahai Rasulullah, ke mana kami akan pergi?"  Rasulullah menasehati agar mereka pergi ke 
Habasyah yang rakyatnya menganut agama Kristen.  "Tempat itu diperintah oleh seorang raja dan 
tidak ada orang yang dianiaya di situ.

Itu bumi   yang jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan 
buat kita semua," demikian sabda Rasulullah.  Mematuhi perintah Rasulullah, berangkatlah 
rombongan pertama kaum Muslimin ke Habasyah   pada bulan Rajab, tahun ke lima kenabian. 
Rombongan itu terdiri atas 12 orang pria dan   4 perempuan. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka 
meninggalkan Mekah, menyeberangi laut ke benua   Afrika, dan tiba di pantai Habasyah. Seperti yang 
dikatakan Rasulullah, Najasyi, Raja Habasyah itu,   memberi mereka perlindungan dan tempat yang baik.
Kelak, ketika mendengar bahwa orang Quraisy tidak   lagi menyiksa kaum Muslimin, mereka kembali 
pulang. Namun, ternyata berita itu tidak benar.  Di Mekah, keadaan justru semakin buruk 
bagi kaum Muslimin. Mereka pun berangkat   kembali ke Habasyah, kali ini dengan 
jumlah rombongan yang lebih besar,   terdiri atas 83 orang pria dan 18 wanita 
dipimpin oleh Ja'far bin Abu Thalib.  Habasyah  Saat itu Habasyah adalah negara yang meliputi 
bagian selatan Mesir, Erytrea, Ethiopia,   dan Sudan. Habasyah artinya 'persekutuan'. 
Dahulu Habasyah bersekutu dengan kerajaan   Saba atau Himyar. Kaum Muslimin berangkat 
dari Teluk Syu'aibah, sebelah selatan Jeddah.  Amarah Umar  Umar bin Khattab duduk termenung di rumahnya. 
Di seluruh Mekah, tidak ada seorang pun yang   mampu melunakkan hati Umar.

Ia begitu cepat 
naik pitam dan garang. Ia tidak pernah luluh   oleh rayuan gadis-gadis penghibur setiap 
kali ia mendatangi para penjual khamr.  Ia tidak pula pernah terbujuk ikut 
bergabung dengan para pejalan malam   yang suka bergerombol di pelataran rumah 
sambil mendengarkan para penabuh rebana.  Segalanya tidak mampu melembutkan kekerasan 
hatinya yang suka bertindak garang dan menakutkan.  Namun kini, ia tengah duduk termenung sendiri.
"Hamzah, apa yang terjadi padamu? Engkau   menaklukkan dan mempermalukan Abu Jahal, 
temanmu sendiri! Apa yang membuatmu jadi   seperti ini? Bahkan, engkau berani meninggalkan 
agama nenek moyang kita dan bergabung dengan   Muhammad! Ini jelas akan membuat pengikut 
agama baru ini jadi sombong dan besar kepala!  Hamzah, bukankah engkau, Abu Jahal, Khalid bin 
Walid dan aku telah bersama membuat Quraisy jadi   suku paling disegani? Semua itu berkat kerja 
keras dan keuletan kita berempat.

Suku-suku   yang lain iri kepada Quraisy karena Quraisy 
memiliki kita. Ini semua gara-gara Muhammad!   Hamzah tidak lagi mau minum-minum bersamaku. 
Betapa sepinya malam-malam tanpa Hamzah!"  "Muhammad, engkau membuat pusing kepala 
orang-orang miskin, para budak, buruh kasar,   dan para perempuan lemah! Engkau membuat 
mereka berani menentang para majikan! Apa   yang engkau sampaikan pasti sebuah sihir.
Muhammad, tegakah engkau melihat para   pengikut mu pergi meninggalkan tanah 
air nya ke Habasyah yang begitu jauh?  Ini benar-benar keterlaluan! Aku harus membunuh 
Muhammad sekarang juga! Meski aku harus berhadapan   dengan Hamzah, aku akan membunuhmu dan 
membuat Mekah kembali seperti dulu!"  Setelah berpikir begitu, Umar bin Khattab 
mencabut pedangnya. Amarahnya dengan cepat   naik ke ubun-ubun.

Dengan langkah-langkah yang 
tidak bisa dirintangi, Umar berjalan cepat menuju   Darul Arqam. Matanya mengandung api dan pedangnya 
membara! Tidak seorang pun bisa menghalangi Umar   jika ia sudah bertekat dengan sunguh-sunguh!
Duka Umar  Ummu Abdillah adalah seorang perempuan 
tua. Ia juga tetangga Umar bin Khattab.   Setelah ia sekeluarga memeluk Islam, Umar 
suka mengganggunya. Padahal sebelum itu,   Umar cukup hormat dan bahkan menyayanginya.
Saat itu, Ummu Abdillah tengah membereskan   barang-barang untuk dibawa hijrah ke Habasyah. 
Tiba-tiba, hatinya berdebar. Ia melihat Umar bin   Khattab melangkah dengan pedang terhunus! Karena 
tidak ada waktu lagi untuk lari ke dalam rumah,   Ummu Abdillah bersembunyi di balik 
barang-barangnya.

Hatinya berdebar   tidak karuan. Tanpa sadar, ia menahan 
napas ketika Umar semakin mendekat. Akan tetapi, Umar melihatnya dan berhenti.
"Jadi engkau benar benar akan berangkat,   wahai Ummu Abdillah?"
Ummu Abdillah keluar dari   tempat persembunyiannya. Ia heran karena suara 
Umar tidak terdengar marah seperti biasanya.  "Ya, demi Allah. Engkau telah menyakitiku dan 
menindasku. Aku akan benar-benar pergi ke bumi   Allah hingga Allah memberikan jalan 
keluar bagiku," sahut Ummu Abdillah.  Sesaat, Umar tampak merenung, "Ini dia tetanggaku, 
mereka akan pergi juga meninggalkan Mekah."  Umar berpaling, menatap wajah tua 
Ummu Abdillah dan berkata dalam hati,   "Begitu jauh jalan yang akan ditempuh orang tua 
ini, begitu sedikit barang yang bisa dibawanya."  Akhirnya Umar melangkah pergi sambil berkata 
parau, "Semoga Allah senantiasa menyertaimu."  Ummu Abdillah terpana. Belum pernah Umar 
berlaku selembut ini sejak mereka memeluk Islam.  "Tidakkah engkau melihat kelemah 
lembutan dan kedukaan Umar terhadap   kita?" tanya Ummu Abdillah kepada putranya.
"Apakah Ibu berharap ia akan memeluk Islam?"   tanya sang putra. "Dia tidak akan pernah memeluk 
Islam sebelum keledai bapaknya juga masuk Islam!" Berita untuk Umar
Umar melanjutkan langkahnya menuju Darul Arqam.  "Sudah jelas, Muhammad-lah yang menyebabkan 
semua kesengsaraan ini! Aku harus membunuhnya   agar Mekah kembali damai dan tenang. 
Mengenai Hamzah, aku akan bertarung   dengannya.

Aku yang mati atau Hamzah yang 
mati, itu tidak terlalu membuatku risau."  Tiba-tiba, lamunannya buyar ketika 
Nu'aim bin Abdullah menegurnya,   "Hendak kemana, wahai putra Khattab?"
"Aku akan menemui Muhammad! Dia yang   menukar agama nenek moyang kita. Dia 
yang memecah belah masyarakat Quraisy.   Dia memiliki banyak angan-angan bodoh. Dia 
yang mencaci tuhan-tuhan kita. Untuk semua   kesalahannya itu, aku akan menebas lehernya!"
"Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu   sendiri, wahai Umar! Apakah tindakanmu membunuh 
Muhammad akan dibiarkan saja oleh Bani Abdi Manaf?   Tidakkah lebih baik engkau pulang 
dan mengurusi keluarga mu sendiri?"  Umar berhenti melangkah dan bertanya 
tajam, "Keluarga ku yang mana?"  "Saudara sepupumu sendiri, 
Sa'id bin Zaid bin Ammar dan   istrinya yang tak lain adalah adik 
perempuanmu, Fathimah binti Khattab.   Mereka telah mengikuti ajaran 
Muhammad, urusi saja mereka dulu!"  Umar segera membalikkan badan dan 
melangkah cepat menuju ke rumah adiknya.  "Kalau itu benar, aku akan bertindak pada Sa'id 
bin Zaid seperti yang pernah dilakukan oleh ayahku   yang garang.

Al Khattab, kepada ayah Sa'id, Zaid 
bin Ammar! Berani-beraninya dia memeluk Islam,   sedangkan dia tahu aku membenci agama itu!"
Dengan keras, Umar bin Khattab menggedor   pintu rumah Sa'id bin Zaid dan Fatimah. Suaranya 
berdentum-dentum keras mengejutkan siapa saja yang   ada di dalam rumah. Sudah bisa diduga, kali ini 
akan jatuh lagi korban dalam penganiayaan yang   menimpa kaum Muslimin.
Amuk Umar bin Khattab  Di dalam rumah, Sa'id dan Fathimah binti 
Khattab sedang mengikuti ayat Al Qur'an   yang dibacakan oleh Khabbab bin Al Arat. 
Begitu pintu berguncang diketuk Umar,   Sa'id dan Fathimah segera menyembunyikan 
Khabbab. Fathimah segera menyembunyikan   lembaran-lembaran yang tadi 
mereka baca di bawah pahanya.  Sa'id membuka pintu dan Umar bergegas masuk.
"Suara apa yang baru kudengar itu?" bentak Umar.  " Tidak…. kami tidak 
mendengar suara apa pun tadi "  Seketika amarah Umar bin Khattab meledak, 
"Kudengar kalian telah mengikuti ajaran Muhammad!"  Belum sepatah kata pun keluar dari mulut kedua 
suami istri itu, pedang Umar sudah terayun   dan gagangnya mengenai Sa'id hingga ia jatuh 
terjerembab di lantai dan luka.

Melihat suaminya   berdarah, Fathimah bangkit berusaha melerai, 
tetapi tangan Umar cepat sekali menampar wajahnya.  Fathimah jatuh di samping suaminya 
dengan darah mengucur dari wajahnya.  Meski garang, Umar terkenal lembut dan 
penyayang kepada keluarganya sendiri.   Melihat darah Fathimah, Umar tertegun.
"Fathimah berdarah," pikirnya, "Mengapa   aku bisa sampai begitu? Aku menyayangi 
adikku itu sepenuh hati, bahkan lebih   mirip rasa sayang antara ayah kepada putrinya!"
Fathimah yang lembut dan biasanya selalu patuh   kepada Umar, kali ini mengangkat wajah, 
menentang langsung paras kakaknya itu.  "Baiklah," seru Fathimah
"lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki!"  Fathimah sudah siap menghadapi berbagai 
kemungkinan yang akan terjadi. Ia siap   disiksa oleh kakaknya sendiri yang dari 
kecil begitu menyayanginya, ia bahkan siap   untuk mati. Kedua tangannya terentang, seolah 
siap menerima tikaman pedang Umar ke dadanya.  Al Qur'an bukan Mantra Syair
Suatu malam, Umar bin Khattab   diam-diam mendengar Rasulullah ﷺ membaca 
Al Qur'an pada malam hari, Umar terpesona.   Namun, ia berkata dalam hati, "Ah, ini pasti 
ucapan seorang penyair".

Bisik hati Umar.  Saat itu Rasulullah ﷺ membaca 
surah Al Haqqah ayat 41,
  "Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang 
penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya."
  Kembali, Umar bin Khattab diam-diam datang 
ke rumah Rasulullah pada tengah malam dan   mendengar Rasulullah membaca Al 
Qur'an. Umar berkata dalam hati,   "Kalau ini bukan ucapan tukang tenung, ini 
pasti ucapan Muhammad, bukan Firman Tuhan."  Namun, sesegera itu juga, Rasulullah 
membaca Surah Al Haqqah ayat 43:
  "Ia (Al Qur'an) adalah wahyu yang 
diturunkan dari Tuhan seluruh alam." Surat Thohaa
Akan tetapi,   Umar tidak bisa melawan rasa sayang kepada 
adiknya. Amarahnya padam seperti api terguyur   hujan. Ia duduk, diam dalam penyesalan. 
Ditatapnya wajah adiknya dalam-dalam,   disesalinya luka akibat tamparannya tadi.
"Perlihatkan lembaran-lembaran tadi yang   kalian baca agar aku tahu apa 
yang Muhammad bawa," pinta Umar.  "Kami khawatir engkau merampas 
lembaran-lembaran itu."  "Tidak perlu takut, perlihatkanlah. 
Aku bersumpah akan mengembalikannya."  Saat itu, timbul harapan di hati 
Fatimah agar kakaknya memeluk Islam.  "Kakak engkau adalah penyembah berhala, 
karena itu engkau kotor.

Sesungguhnya,   lembaran ini tidak boleh disentuh 
kecuali orang yang suci."  Tanpa berkata lagi, Umar berdiri lalu 
mandi. Setelah itu ia kembali dan membaca   lembaran-lembaran yang berisi surat Thohaa.

Thaahaa.
  Kami tidak menurunkan Al Quran ini 
kepadamu agar kamu menjadi susah;
  tetapi sebagai peringatan bagi 
orang yang takut (kepada Allah),
  yaitu diturunkan dari Allah yang 
menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
  (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. 
Yang bersemayam di atas ´Arsy.
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada 
di langit, semua yang di bumi,   semua yang di antara keduanya 
dan semua yang di bawah tanah.
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu,   maka sesungguhnya Dia mengetahui 
rahasia dan yang lebih tersembunyi.
Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak 
disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul   husna (nama-nama yang baik),

…………
  Umar terus membaca sebagian 
besar lembaran-lembaran tadi,   lalu berhenti. Tangannya terkulai. Matanya sayu.
Dikembalikannya lembaran-lembaran tadi ke   tangan Fatimah. Dengan rasa heran dan penuh 
harap, Fatimah memerhatikan wajah kakaknya.  Kemudian di dengarnya Umar mendesah. 
"Alangkah bagus dan agung kata-kata ini."  Seolah mendadak matahari yang terang benderang   muncul dari balik awan.

Khattab bin Al 
Arat segera keluar dari persembunyiannya.  "Wahai Umar!" serunya meluap-luap, "aku sungguh 
berharap mudah-mudahan Allah mengistimewakan   dirimu. Kemarin kudengar Rasulullah berdoa, 
"Ya Allah! kuatkanlah Islam dari dua Umar, Abu   Jahal bin 'Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab!"
Mendengar itu, Umar segera bangkit dan bergegas   menuju Darul Arqam. Namun, tangannya masih 
menghunus pedang dan wajahnya seperti singa   padang pasir yang siap bertarung.
Keislaman Umar bin Khattab  Berdentum-dentum pintu Darul Arqam 
diketuk Umar. Sebelum membuka pintu,   seorang sahabat mengintip keluar dan 
terkejut, seperti baru mengalami mimpi buruk.  "Pengetuk pintu adalah Umar bin Khattab!" desisnya 
panik kepada Rasulullah dan orang-orang di dalam,   "Dia datang dengan pedang terhunus!"
Hamzah bin Abdul Muthalib berdiri dan   berkata tenang. "Biarkan saja dia masuk. Jika 
dia datang dengan maksud baik, kita sambut dengan   baik. Namun, jika dia datang dengan maksud 
jahat, kita bunuh saja dia dengan pedangnya"  Setelah berkata begitu, tangan Hamzah 
bergerak meraba gagang pedangnya.   Suasana tambah mencekam ketika pintu 
dibuka. Namun, Umar tidak juga masuk, ia   tetap berdiri dengan sikap garang di depan pintu.
Melihat itu, Rasulullah pun berdiri dan berjalan   cepat menghampiri Umar.

Dengan kecepatan 
yang bahkan tidak terduga oleh Umar sendiri,   tangan Rasulullah yang mulia bergerak dan 
mencengkeram leher baju Umar dengan kuat.  Dengan suara tegas yang tidak 
bisa dibantah, Rasulullah berkata,  "Wahai Umar! Dengan maksud apa engkau datang? 
Demi Allah, aku tidak akan melihat engkau   berhenti dengan sikap dan tindakanmu terhadap 
kami hingga Allah menurunkan bencana untukmu"  Kerongkongan Umar tersekat karena begitu 
terkejut. Kesombongannya runtuh, bahkan   rasa takut menguasai dirinya. Dengan suara 
lirih ia berkata "Wahai Rasulullah……. "  Semua orang di Darul Arqam tercengang.

Mereka 
lebih tercengang lagi mendengar Umar bin Khattab,   sang Singa Quraisy, melanjutkan kata-katanya,  "Aku datang kepadamu untuk beriman 
kepada Allah dan Utusan-Nya"  Rasulullah melepaskan cengkeramannya dan 
berkata penuh rasa syukur, "Subhanallah ….."  Takbir Hamzah membahana. Pada bulan Dzulhijjah 
tahun keenam kenabian itu, Umar bin Khattab,   Sahabat berperang dan teman minumnya, menjadi 
saudara seiman. Hati mereka terikat dalam   tali yang tidak bisa putus lagi sampai ke 
akhirat. Dengan kegembiraan yang tiada tara,   Rasulullah mengusap dada Umar agar 
sahabat barunya itu tetap dalam keimanan. wallahualam bishowab semoga kisah ini dapat 
memberikan manfaat bagi kita semua jika kalian   suka dengan channel ini silakan Klik tombol 
subscribe untuk mendukung berbagi kisah sebagai   salah satu channel yang memberikan informasi 
kisah-kisah nabi dan sejarah Islam yang dapat   kita teladani sebagai umat muslim akhirul kalam 
Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.

As found on YouTube

Follow IG @PendongengMerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *