Halo Bismillahirohmanirohim Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh sahabat berbagi kisah rohimakumullah di kesempatan kali
ini saya akan berbagi kisah tentang kisah perjalanan hidup manusia Agung Rasulullah Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam siroh Nabawiyah bagian Singa Padang Pasir
Orang-orang terus menertawakan Rasulullah setiap kali lewat.
"Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!"
Abu Jahal terus menyemangati
orang-orang yang mengejek sambil kerap kali melontarkan caci maki juga.
Rasulullah mendadak berhenti melangkah. Beliau berpaling dengan tenang menghadap Abu
Jahal, dengan sorot matanya tajam. Abu Jahal berhenti dan terdiam. Dengan wajah sayu
penuh belas kasihan, Rasulullah memandang orang-orang kecil yang mengejeknya. Seketika,
sorak-sorai pun mereda. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu terpesona melihat
keadaan Rasulullah. Baru kali ini mereka seolah disadarkan, betapa menyakitkannya
ejekan mereka itu diterima Rasulullah. Sorot mata Rasulullah seolah berkata, "Mengapa
kalian mengejekku? Bukankah aku sedang berjuang menyelamatkan kalian dari kekejaman bangsa
Quraisy dengan membawa Islam yang mulia? Seandainya kalian tahu, ejekan Abu Jahal
itu tidak begitu menyakitkan dibanding kata-kata kalian, sebab kepada kalianlah
Allah meyuruhku menebar kasih sayang." Tanpa sepatah kata pun, Rasulullah berlalu.
Orang-orang bubar dengan membawa perasaan masing-masing.
Tatapan Rasulullah tadi sangat
berkesan di hati seorang budak perempuan. Ketika budak itu berjalan pulang, ia
melihat Hamzah bin Abdul Muthalib datang.
Hamzah adalah paman Nabi, usia
mereka hampir sebaya. Dari kecil, Rasulullah dan Hamzah dibesarkan bersama,
bermain bersama, dan menjadi sahabat karib. Karena itulah Hamzah begitu menyayangi Rasulullah.
Hamzah berjalan gagah dan bangga memasuki Mekah. Ia betul-betul laki-laki perkasa
dengan perawakan tinggi dan kekar. Dengan wajah angkuh, Hamzah melangkah sambil
menyandang busurnya.
Ia habis berburu. Orang-orang yang melihatnya pun berbisik
kagum. Namun, budak perempuan tadi merasa ada yang janggal, mengapa orang segagah ini
tidak membela Muhammad, keponakannya sendiri? Mengapa ia bisa setenang itu?
Tahukah ia bahwa Muhammad keponakannya, dicaci maki orang?
Muhammad dihina pemimpin kabilah lain yang menjadi saingan Bani Hasyim!
Pantaskah ia disebut sebagai pemuda perkasa yang pantang menyerah pada lawan, sedangkan ia
tidak berbuat apa pun ketika seorang keluarga Bani Hasyim dicaci maki orang?
Dengan dada hampir meluap, budak perempuan itu menegur Hamzah, "Tuan, tidak
tahukah Anda apa yang menimpa kemenakanmu itu?" Hamzah berhenti dan budak perempuan itu
menceritakan apa yang dilihatnya. Dalam sekejap saja, wajah Hamzah memerah. Tanpa berkata
apa pun, ia berbalik menuju Ka'bah dengan langkah bergegas.
Ia mencari Abu Jahal.
Kebimbangan Hamzah Di depan Ka'bah, Abu Jahal bercerita kepada
beberapa temannya, "Puas rasanya melihat Muhammad dicaci begitu banyak orang", ujar Abu
Jahal, "Kalau kuberi semangat sedikit lagi, bukan tidak mungkin mereka akan memukulinya."
Teman-temannya terlihat ikut bersemangat. Beberapa orang mulai ikut bicara, tetapi mendadak
semuanya terdiam dan memandang ke satu arah. Abu Jahal ikut menoleh dan seketika
kerongkongannya tercekat. Hamzah bin Abdul Muthalib, sang pahlawan Bani Hasyim, menjulang
di belakangnya dengan mata menyala tanpa ampun. "Beraninya engkau mencaci maki Muhammad,
padahal aku telah memeluk agamanya? Coba lakukan penghinaanmu kepadaku
jika engkau benar-benar jantan!" Setelah berkata begitu, Hamzah
melayangkan busurnya. Bunyinya mendecit, cepat , dan keras sehingga
kepala Abu Jahal pun terluka. Beberapa teman Abu Jahal serempak berdiri.
Tampaknya, perkelahian tidak terhindarkan lagi. Ketika Abu Jahal melihat ini, ia mengangkat tangan
untuk mencegah teman temannya. Abu Jahal yakin, dalam keadaan seperti itu, Hamzah
tidak akan ragu-ragu membunuh orang. Dengan napas tersengal, Abu Jahal memegangi
kepalanya. Ia berkata sambil menahan marah, "Kita tinggalkan saja dia! Aku memang
telah mencaci maki kemenakannya." Mereka pun pergi dengan geram dan murung.
Namun, hati Hamzah belum lagi lega.
Ia pulang dengan bimbang, "Mengapa begitu
mudah kutinggalkan agama nenek moyangku?" Setelah melewati malam yang gelisah,
Hamzah akhirnya berdoa, "Ya Tuhan, jika Muhammad benar, teguhkanlah hatiku.
Jika Muhammad salah, jauhkanlah aku darinya!" Hamzah menemui Rasulullah dengan sedih dan
menceritakan semua kegelisahan hatinya. Rasulullah lalu membacakan beberapa ayat Al Qur'an.
Perlahan, hati Hamzah dipenuhi rasa tenang, haru, dan kagum. Dengan bulat hati, ia pun berkata,
"Aku menyaksikan bahwa engkau itu sungguh benar, maka itu tampakkanlah agamamu,
hai anak saudaraku!"
Bukan main bersyukurnya Rasulullah. Kini,
Islam telah memiliki benteng yang kuat dalam menghadapi kekerasan Quraisy. Hamzah memeluk
Islam pada akhir tahun ke enam kenabian (nubuwwah).
Orang-orang Quraisy tidak putus asa, Mereka mempunyai cara
lain untuk menekan perjuangan Rasulullah. Singa Allah dan Singa Rasul-Nya
Kemudian seluruh kegagahan Hamzah dibaktikannya untuk membela Allah dan agama-Nya, sehingga
Rasulullah memberi Hamzah julukan istimewa, Singa Allah dan Singa Rasulullah. Hamzah
adalah komandan Sariyah yang pertama. Sariyah adalah pasukan Muslim yang
berangkat tanpa disertai Rasulullah. Tawaran Utbah bin Rabi'ah "Sesak dadaku melihat Muhammad dan para
pengikutnya!" teriak seorang pembesar Quraisy. "Setiap hari mereka semakin kuat!" geram yang
lain.
"Semua gangguan dan siksaan kita seolah tidak berpengaruh apa-apa. Sangat mengherankan!"
gerutu yang lain menggelengkan kepala. Ketika suasana bertambah panas, Utbah bin Rabi'ah
berdiri. Semua orang memandangnya dan menunggu. "Kalau jalan kekerasan tidak membuahkan hasil,
sudah saatnya kita mencoba cara lain, " kata Utbah bin Rabi'ah. Suaranya pelan dan tenang.
"Kalau kalian setuju, aku akan bicara dengan Muhammad dan menawarkan beberapa hal
menarik kepadanya. Apakah kalian setuju?" Setelah terdiam sejenak, akhirnya
orang orang Quraisy itu pun setuju. "Coba laksanakan usulmu! Kami bersedia memberi
apa saja asal Muhammad mau bungkam!" kata mereka. Utbah bin Rabi'ah pun menemui Rasulullah.
"Anakku," katanya lembut, "engkau adalah orang terhormat.
Namun kini,
engkau membawa soal besar sehingga masyarakat kita tercerai-berai. Sekarang dengarlah,
kami menawarkan kepadamu beberapa hal, mungkin sebagiannya bisa engkau terima. Anakku,
kalau yang engkau inginkan adalah harta, kami siap mengumpulkan dan memberikan harta
kami sehingga engkau akan menjadi seorang paling kaya. Kalau engkau ingin kedudukan,
akan kami angkat engkau sebagai pemimpin kami sehingga kami tidak akan mengambil keputusan tanpa
persetujuanmu. Kalau engkau ingin menjadi raja, akan kami nobatkan engkau menjadi raja kami. Jika
engkau diserang penyakit yang tidak dapat engkau sembuhkan sendiri, akan kami biayai pengobatannya
dengan harta kami sampai engkau sembuh." Rasulullah terdiam sejenak. Utbah bin Rabi'ah
merasa kata katanya yang berbunga itu seolah menguap tanpa jejak ke udara.
Surat Fushilat Rasulullah lalu membaca ayat-ayat Al Qur'an
Surat Fushilat mulai dari ayat pertama:
Dengan menyebut nama Allah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Haa Miim. (Haa Miim) hanya Allah saja
yang mengetahui arti dan maksudnya.
Diturunkan dari Tuhan Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan
dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui,
yang membawa berita gembira dan yang
membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka
mereka tidak (mau) mendengarkan.
Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan
(yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara
kami dan kamu ada dinding, maka lakukanlah (sesuai kehendak kamu); sesungguhnya kami
akan melakukan (sesuai kehendak kami)".
Rasulullah terus membacakan ayat-ayat
lanjutannya yang menuturkan tentang Rasulullah hanyalah seorang pemberi
peringatan, tentang gunung-gunung yang kokoh, tentang penciptaan langit dan tujuh lapisannya,
tentang azab petir yang menimpa kaum Tsamud, tentang ngerinya nasib kaum kafir
yang menolak wahyu dari Allah. Ayat-ayat itu begitu memesona Utbah sampai
ia lupa pada apa yang ia tawarkan kepada Rasulullah.
Hatinya semakin hanyut, larut, dan…
"Cukuplah Muhammad. Cukuplah sekian saja!" seru Utbah. Ia diam sejenak,
lalu kemudian bertanya lagi, "Apakah engkau dapat menjawab
selain yang tadi engkau baca?" "Tidak".
Utbah terpana. "Jadi, inilah Muhammad," pikirnya. "Laki laki ini bukanlah orang yang ingin
memiliki gunungan harta, kedudukan, kerajaan, dan sama sekali bukan orang sakit.
Ia hanyalah orang yang ingin mempertahankan tugasnya dengan baik sekali dan ia tadi
mengucapkan kata kata penuh mukjizat…" Begitulah, akhirnya Utbah bin
Rabi'ah kembali dengan tangan hampa. Para pembesar Quraisy pun kecewa karena
Rasulullah menolak tawaran mereka.
Kemudian, penganiayaan dan siksaan terhadap kaum
Muslimin pun berlanjut dan semakin ganas. Ke Habasyah
Gangguan terhadap kaum Muslimin semakin berat dari hari ke hari. Bahkan,
beberapa orang gugur karena disiksa terlalu keras. Berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah
pun memerintahkan agar mereka berhijrah. "Wahai Rasulullah, ke mana kami akan pergi?" Rasulullah menasehati agar mereka pergi ke
Habasyah yang rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah oleh seorang raja dan
tidak ada orang yang dianiaya di situ.
Itu bumi yang jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan
buat kita semua," demikian sabda Rasulullah. Mematuhi perintah Rasulullah, berangkatlah
rombongan pertama kaum Muslimin ke Habasyah pada bulan Rajab, tahun ke lima kenabian.
Rombongan itu terdiri atas 12 orang pria dan 4 perempuan. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka
meninggalkan Mekah, menyeberangi laut ke benua Afrika, dan tiba di pantai Habasyah. Seperti yang
dikatakan Rasulullah, Najasyi, Raja Habasyah itu, memberi mereka perlindungan dan tempat yang baik.
Kelak, ketika mendengar bahwa orang Quraisy tidak lagi menyiksa kaum Muslimin, mereka kembali
pulang. Namun, ternyata berita itu tidak benar. Di Mekah, keadaan justru semakin buruk
bagi kaum Muslimin. Mereka pun berangkat kembali ke Habasyah, kali ini dengan
jumlah rombongan yang lebih besar, terdiri atas 83 orang pria dan 18 wanita
dipimpin oleh Ja'far bin Abu Thalib. Habasyah Saat itu Habasyah adalah negara yang meliputi
bagian selatan Mesir, Erytrea, Ethiopia, dan Sudan. Habasyah artinya 'persekutuan'.
Dahulu Habasyah bersekutu dengan kerajaan Saba atau Himyar. Kaum Muslimin berangkat
dari Teluk Syu'aibah, sebelah selatan Jeddah. Amarah Umar Umar bin Khattab duduk termenung di rumahnya.
Di seluruh Mekah, tidak ada seorang pun yang mampu melunakkan hati Umar.
Ia begitu cepat
naik pitam dan garang. Ia tidak pernah luluh oleh rayuan gadis-gadis penghibur setiap
kali ia mendatangi para penjual khamr. Ia tidak pula pernah terbujuk ikut
bergabung dengan para pejalan malam yang suka bergerombol di pelataran rumah
sambil mendengarkan para penabuh rebana. Segalanya tidak mampu melembutkan kekerasan
hatinya yang suka bertindak garang dan menakutkan. Namun kini, ia tengah duduk termenung sendiri.
"Hamzah, apa yang terjadi padamu? Engkau menaklukkan dan mempermalukan Abu Jahal,
temanmu sendiri! Apa yang membuatmu jadi seperti ini? Bahkan, engkau berani meninggalkan
agama nenek moyang kita dan bergabung dengan Muhammad! Ini jelas akan membuat pengikut
agama baru ini jadi sombong dan besar kepala! Hamzah, bukankah engkau, Abu Jahal, Khalid bin
Walid dan aku telah bersama membuat Quraisy jadi suku paling disegani? Semua itu berkat kerja
keras dan keuletan kita berempat.
Suku-suku yang lain iri kepada Quraisy karena Quraisy
memiliki kita. Ini semua gara-gara Muhammad! Hamzah tidak lagi mau minum-minum bersamaku.
Betapa sepinya malam-malam tanpa Hamzah!" "Muhammad, engkau membuat pusing kepala
orang-orang miskin, para budak, buruh kasar, dan para perempuan lemah! Engkau membuat
mereka berani menentang para majikan! Apa yang engkau sampaikan pasti sebuah sihir.
Muhammad, tegakah engkau melihat para pengikut mu pergi meninggalkan tanah
air nya ke Habasyah yang begitu jauh? Ini benar-benar keterlaluan! Aku harus membunuh
Muhammad sekarang juga! Meski aku harus berhadapan dengan Hamzah, aku akan membunuhmu dan
membuat Mekah kembali seperti dulu!" Setelah berpikir begitu, Umar bin Khattab
mencabut pedangnya. Amarahnya dengan cepat naik ke ubun-ubun.
Dengan langkah-langkah yang
tidak bisa dirintangi, Umar berjalan cepat menuju Darul Arqam. Matanya mengandung api dan pedangnya
membara! Tidak seorang pun bisa menghalangi Umar jika ia sudah bertekat dengan sunguh-sunguh!
Duka Umar Ummu Abdillah adalah seorang perempuan
tua. Ia juga tetangga Umar bin Khattab. Setelah ia sekeluarga memeluk Islam, Umar
suka mengganggunya. Padahal sebelum itu, Umar cukup hormat dan bahkan menyayanginya.
Saat itu, Ummu Abdillah tengah membereskan barang-barang untuk dibawa hijrah ke Habasyah.
Tiba-tiba, hatinya berdebar. Ia melihat Umar bin Khattab melangkah dengan pedang terhunus! Karena
tidak ada waktu lagi untuk lari ke dalam rumah, Ummu Abdillah bersembunyi di balik
barang-barangnya.
Hatinya berdebar tidak karuan. Tanpa sadar, ia menahan
napas ketika Umar semakin mendekat. Akan tetapi, Umar melihatnya dan berhenti.
"Jadi engkau benar benar akan berangkat, wahai Ummu Abdillah?"
Ummu Abdillah keluar dari tempat persembunyiannya. Ia heran karena suara
Umar tidak terdengar marah seperti biasanya. "Ya, demi Allah. Engkau telah menyakitiku dan
menindasku. Aku akan benar-benar pergi ke bumi Allah hingga Allah memberikan jalan
keluar bagiku," sahut Ummu Abdillah. Sesaat, Umar tampak merenung, "Ini dia tetanggaku,
mereka akan pergi juga meninggalkan Mekah." Umar berpaling, menatap wajah tua
Ummu Abdillah dan berkata dalam hati, "Begitu jauh jalan yang akan ditempuh orang tua
ini, begitu sedikit barang yang bisa dibawanya." Akhirnya Umar melangkah pergi sambil berkata
parau, "Semoga Allah senantiasa menyertaimu." Ummu Abdillah terpana. Belum pernah Umar
berlaku selembut ini sejak mereka memeluk Islam. "Tidakkah engkau melihat kelemah
lembutan dan kedukaan Umar terhadap kita?" tanya Ummu Abdillah kepada putranya.
"Apakah Ibu berharap ia akan memeluk Islam?" tanya sang putra. "Dia tidak akan pernah memeluk
Islam sebelum keledai bapaknya juga masuk Islam!" Berita untuk Umar
Umar melanjutkan langkahnya menuju Darul Arqam. "Sudah jelas, Muhammad-lah yang menyebabkan
semua kesengsaraan ini! Aku harus membunuhnya agar Mekah kembali damai dan tenang.
Mengenai Hamzah, aku akan bertarung dengannya.
Aku yang mati atau Hamzah yang
mati, itu tidak terlalu membuatku risau." Tiba-tiba, lamunannya buyar ketika
Nu'aim bin Abdullah menegurnya, "Hendak kemana, wahai putra Khattab?"
"Aku akan menemui Muhammad! Dia yang menukar agama nenek moyang kita. Dia
yang memecah belah masyarakat Quraisy. Dia memiliki banyak angan-angan bodoh. Dia
yang mencaci tuhan-tuhan kita. Untuk semua kesalahannya itu, aku akan menebas lehernya!"
"Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai Umar! Apakah tindakanmu membunuh
Muhammad akan dibiarkan saja oleh Bani Abdi Manaf? Tidakkah lebih baik engkau pulang
dan mengurusi keluarga mu sendiri?" Umar berhenti melangkah dan bertanya
tajam, "Keluarga ku yang mana?" "Saudara sepupumu sendiri,
Sa'id bin Zaid bin Ammar dan istrinya yang tak lain adalah adik
perempuanmu, Fathimah binti Khattab. Mereka telah mengikuti ajaran
Muhammad, urusi saja mereka dulu!" Umar segera membalikkan badan dan
melangkah cepat menuju ke rumah adiknya. "Kalau itu benar, aku akan bertindak pada Sa'id
bin Zaid seperti yang pernah dilakukan oleh ayahku yang garang.
Al Khattab, kepada ayah Sa'id, Zaid
bin Ammar! Berani-beraninya dia memeluk Islam, sedangkan dia tahu aku membenci agama itu!"
Dengan keras, Umar bin Khattab menggedor pintu rumah Sa'id bin Zaid dan Fatimah. Suaranya
berdentum-dentum keras mengejutkan siapa saja yang ada di dalam rumah. Sudah bisa diduga, kali ini
akan jatuh lagi korban dalam penganiayaan yang menimpa kaum Muslimin.
Amuk Umar bin Khattab Di dalam rumah, Sa'id dan Fathimah binti
Khattab sedang mengikuti ayat Al Qur'an yang dibacakan oleh Khabbab bin Al Arat.
Begitu pintu berguncang diketuk Umar, Sa'id dan Fathimah segera menyembunyikan
Khabbab. Fathimah segera menyembunyikan lembaran-lembaran yang tadi
mereka baca di bawah pahanya. Sa'id membuka pintu dan Umar bergegas masuk.
"Suara apa yang baru kudengar itu?" bentak Umar. " Tidak…. kami tidak
mendengar suara apa pun tadi " Seketika amarah Umar bin Khattab meledak,
"Kudengar kalian telah mengikuti ajaran Muhammad!" Belum sepatah kata pun keluar dari mulut kedua
suami istri itu, pedang Umar sudah terayun dan gagangnya mengenai Sa'id hingga ia jatuh
terjerembab di lantai dan luka.
Melihat suaminya berdarah, Fathimah bangkit berusaha melerai,
tetapi tangan Umar cepat sekali menampar wajahnya. Fathimah jatuh di samping suaminya
dengan darah mengucur dari wajahnya. Meski garang, Umar terkenal lembut dan
penyayang kepada keluarganya sendiri. Melihat darah Fathimah, Umar tertegun.
"Fathimah berdarah," pikirnya, "Mengapa aku bisa sampai begitu? Aku menyayangi
adikku itu sepenuh hati, bahkan lebih mirip rasa sayang antara ayah kepada putrinya!"
Fathimah yang lembut dan biasanya selalu patuh kepada Umar, kali ini mengangkat wajah,
menentang langsung paras kakaknya itu. "Baiklah," seru Fathimah
"lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki!" Fathimah sudah siap menghadapi berbagai
kemungkinan yang akan terjadi. Ia siap disiksa oleh kakaknya sendiri yang dari
kecil begitu menyayanginya, ia bahkan siap untuk mati. Kedua tangannya terentang, seolah
siap menerima tikaman pedang Umar ke dadanya. Al Qur'an bukan Mantra Syair
Suatu malam, Umar bin Khattab diam-diam mendengar Rasulullah ﷺ membaca
Al Qur'an pada malam hari, Umar terpesona. Namun, ia berkata dalam hati, "Ah, ini pasti
ucapan seorang penyair".
Bisik hati Umar. Saat itu Rasulullah ﷺ membaca
surah Al Haqqah ayat 41,
"Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang
penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya."
Kembali, Umar bin Khattab diam-diam datang
ke rumah Rasulullah pada tengah malam dan mendengar Rasulullah membaca Al
Qur'an. Umar berkata dalam hati, "Kalau ini bukan ucapan tukang tenung, ini
pasti ucapan Muhammad, bukan Firman Tuhan." Namun, sesegera itu juga, Rasulullah
membaca Surah Al Haqqah ayat 43:
"Ia (Al Qur'an) adalah wahyu yang
diturunkan dari Tuhan seluruh alam." Surat Thohaa
Akan tetapi, Umar tidak bisa melawan rasa sayang kepada
adiknya. Amarahnya padam seperti api terguyur hujan. Ia duduk, diam dalam penyesalan.
Ditatapnya wajah adiknya dalam-dalam, disesalinya luka akibat tamparannya tadi.
"Perlihatkan lembaran-lembaran tadi yang kalian baca agar aku tahu apa
yang Muhammad bawa," pinta Umar. "Kami khawatir engkau merampas
lembaran-lembaran itu." "Tidak perlu takut, perlihatkanlah.
Aku bersumpah akan mengembalikannya." Saat itu, timbul harapan di hati
Fatimah agar kakaknya memeluk Islam. "Kakak engkau adalah penyembah berhala,
karena itu engkau kotor.
Sesungguhnya, lembaran ini tidak boleh disentuh
kecuali orang yang suci." Tanpa berkata lagi, Umar berdiri lalu
mandi. Setelah itu ia kembali dan membaca lembaran-lembaran yang berisi surat Thohaa.
Thaahaa.
Kami tidak menurunkan Al Quran ini
kepadamu agar kamu menjadi susah;
tetapi sebagai peringatan bagi
orang yang takut (kepada Allah),
yaitu diturunkan dari Allah yang
menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah.
Yang bersemayam di atas ´Arsy.
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada
di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya
dan semua yang di bawah tanah.
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi.
Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik),
…………
Umar terus membaca sebagian
besar lembaran-lembaran tadi, lalu berhenti. Tangannya terkulai. Matanya sayu.
Dikembalikannya lembaran-lembaran tadi ke tangan Fatimah. Dengan rasa heran dan penuh
harap, Fatimah memerhatikan wajah kakaknya. Kemudian di dengarnya Umar mendesah.
"Alangkah bagus dan agung kata-kata ini." Seolah mendadak matahari yang terang benderang muncul dari balik awan.
Khattab bin Al
Arat segera keluar dari persembunyiannya. "Wahai Umar!" serunya meluap-luap, "aku sungguh
berharap mudah-mudahan Allah mengistimewakan dirimu. Kemarin kudengar Rasulullah berdoa,
"Ya Allah! kuatkanlah Islam dari dua Umar, Abu Jahal bin 'Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab!"
Mendengar itu, Umar segera bangkit dan bergegas menuju Darul Arqam. Namun, tangannya masih
menghunus pedang dan wajahnya seperti singa padang pasir yang siap bertarung.
Keislaman Umar bin Khattab Berdentum-dentum pintu Darul Arqam
diketuk Umar. Sebelum membuka pintu, seorang sahabat mengintip keluar dan
terkejut, seperti baru mengalami mimpi buruk. "Pengetuk pintu adalah Umar bin Khattab!" desisnya
panik kepada Rasulullah dan orang-orang di dalam, "Dia datang dengan pedang terhunus!"
Hamzah bin Abdul Muthalib berdiri dan berkata tenang. "Biarkan saja dia masuk. Jika
dia datang dengan maksud baik, kita sambut dengan baik. Namun, jika dia datang dengan maksud
jahat, kita bunuh saja dia dengan pedangnya" Setelah berkata begitu, tangan Hamzah
bergerak meraba gagang pedangnya. Suasana tambah mencekam ketika pintu
dibuka. Namun, Umar tidak juga masuk, ia tetap berdiri dengan sikap garang di depan pintu.
Melihat itu, Rasulullah pun berdiri dan berjalan cepat menghampiri Umar.
Dengan kecepatan
yang bahkan tidak terduga oleh Umar sendiri, tangan Rasulullah yang mulia bergerak dan
mencengkeram leher baju Umar dengan kuat. Dengan suara tegas yang tidak
bisa dibantah, Rasulullah berkata, "Wahai Umar! Dengan maksud apa engkau datang?
Demi Allah, aku tidak akan melihat engkau berhenti dengan sikap dan tindakanmu terhadap
kami hingga Allah menurunkan bencana untukmu" Kerongkongan Umar tersekat karena begitu
terkejut. Kesombongannya runtuh, bahkan rasa takut menguasai dirinya. Dengan suara
lirih ia berkata "Wahai Rasulullah……. " Semua orang di Darul Arqam tercengang.
Mereka
lebih tercengang lagi mendengar Umar bin Khattab, sang Singa Quraisy, melanjutkan kata-katanya, "Aku datang kepadamu untuk beriman
kepada Allah dan Utusan-Nya" Rasulullah melepaskan cengkeramannya dan
berkata penuh rasa syukur, "Subhanallah ….." Takbir Hamzah membahana. Pada bulan Dzulhijjah
tahun keenam kenabian itu, Umar bin Khattab, Sahabat berperang dan teman minumnya, menjadi
saudara seiman. Hati mereka terikat dalam tali yang tidak bisa putus lagi sampai ke
akhirat. Dengan kegembiraan yang tiada tara, Rasulullah mengusap dada Umar agar
sahabat barunya itu tetap dalam keimanan. wallahualam bishowab semoga kisah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua jika kalian suka dengan channel ini silakan Klik tombol
subscribe untuk mendukung berbagi kisah sebagai salah satu channel yang memberikan informasi
kisah-kisah nabi dan sejarah Islam yang dapat kita teladani sebagai umat muslim akhirul kalam
Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.